Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

PEREMPUAN DAN KEMISKINAN

(“Miskin” jalan menuju kehancuran)

Kemiskinan merupakan suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhannya, seperti kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Lingkungan yang ada pada masyarakat yang miskin tidak jauh dari lingkungan kumuh, kotor serta tingkat kesehatan yang kurang baik. Salah satu factor yang menyebabkan kemiskinan adalah tingkat pendidikan yang rendah dan keahlian tidak dimiliki, karena rendahnya pendidikan dan tidak adanya keahlian yang dimiliki tersebut, maka masyarakat miskin tidak dapat mencari pekerjaan yang lebih layak untuk dapat memenuhi kebutuhannya.

Kemiskinan melekat pada diri perempuan disebabkan karena pendidikan yang disandang oleh perempuan sangatlah rendah, keterampilan yang dimiliki juga tidak ada serta menikah pada usia dini dan lainya sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan. Ketika kita melihat kebelakang yang melatarbelakangi kenyataan tersebut adalah berkembangnya streotipe akan perempuan dalam masyarakat yang telah tertanam sedari dulu, yakni perempuan itu identik dengan “dapur, sumur, kasur” hal inilah yang mengakibatkan kemiskinan melekat pada diri seorang perempuan, yang mengartikan bahwa perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang tinggi dan layak karena tugasnya adalah di dapur dan sumur mengurus kebutuhan keluarga serta bekerja untuk seks sang suami di kasur.

Diskriminasi lain yang terjadi pada perempuan masih banyak terjadi seperti perempuan termarginalisasi (peminggiran) dan tersubordinasi (penomorduaan) dalam hal mendapatkan pekerjaan yang layak yang bisa membantu pendapatan untuk kehidupan sehari-hari, beredar anggapan yang sudah menjadi tradisi masyarakat bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin tidak lebih hebat dan kuat dari laki-laki. Hal tersebut juga dilatar belakangi peluang perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang layak terabaikan sehingga peluang pekerjaan perempuan hanya sebagai pembantu rumah tangga, buruh pabrik yang lebih ironis adalah sebagai penjaja seks.

Ketika ditemukan banyak perempuan yang bekerja sebagai PSK latar belakangnya adalah tidak terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, berasal dari kalangan bawah sehingga untuk keberlangsungan hidupnya sehingga mau tidak mau perempuan banyak menjadi penajaja seks tanpa melihat akibat kedepannya. Pilihan hidup seperti ini sangat jelas menyedihkan, ketika pilihan hidup sudah tidak ada lagi, pendidikan tidak mendukung, keahlian tidak dimiliki maka sebagai pilihan akhir adalah menjual akan sesuatu yang kodrat dimiliki oleh tubuh perempuan.

Dari pekerjaan sebagai PSK perempuan menerima citra buruk di masyarakat, seperti di hina, di kucilkan hal ini snagat tidak adil bagi perempuan, dengan profesi sebagai PSK mereka memiliki tujuan untuk bertahan hidup, pekerjaan sebagai PSK seharusnya tidak terjadi jika tradisi yang telah tumbuh dalam masyarakat yakni pendidikan yang layak bagi perempuan diterapkan.

Pilihan hidup bagi perempuan yang miskin adalah bekerja sebagai pembantu rumah tangga baik bekerja pada rumah tangga asal tempatnya atau bahkan rumah tangga dari luar daerah asalnya juga luar negri. Hal ini terlihat begitu banyaknya TKW, bahkan mereka di beri gelar sebagai Pahlawan Devisa, tetapi pemberian gelar tersebut tidak sepadan dengan perlakuan yang di hadapinya. Perlakuan kasar dari majikan selalu datang, pemukulan, penghinaan, bahkan pemerkosaan juga terjadi.

Kekerasan (Violence) yang dihadapi perempuan ini didasari oleh hal yang sama yaitu kemiskinan, karena perempuan ini miskin akan pendidikan, keahlian dan ekonomi maka mereka berada diambang kehancuran, menjadi bulan-bulanan bagi orang yang menggapnya rendah, contohnya saja Sumiati TKW asal indonesia yang bekerja di Arab Saudi, beliau menerima perlakuan kasar setiap harinya mulai dari dipukul, di cakar sampai bibir digunting, tidak terlepass dari itu saja pemberian makanpun dilakukan sang majikan dua hari sekali. Inilah bukti bahwa diskrminasi-diskriminasi selalu di terima oleh perempuan.

Lain halnya dengan perempuan-perempuan yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga yang berada di sekitar daerah tempat tinggalnya. Mereka menerima diskriminasi beban kerja yang berlebih (burden)a ketika di rumah melakukan semua pekerjaan rumah yakni memasak, mencuci dan mengurus anak kemudian bekerja di luar mengerjakan pekerjaan rumah tangga orang lain untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya sehari-hari setelah itu pulang kembali kerumanya dan melakukan pekerjaan rumah kembali serta dengan keadaan yang terlalu lelah harus melaksanakan tugas sebagai pelayan seks suami, terjadi ketidak adilan dalam hal in, semua diskriminasi yang terjadi pada diri perempuan ini lagi-lagi dikarenakan kemiskinan. Kemiskinan jalan menuju kehancuran.

Kemiskinan yang selalu melekat pada diri perempuan, dari segala bentuk ketidak adilan yang selalu diterimanya sperti marginalisasi, subordinasi, streotipe, violence dan beban kerja berlebih (burden) sesungguhnya perempuan ini merupakan pahlawan dari kemiskinan,. Ketika suatu keluarga hidup dalam perekonomian yang rendah maka yang paling terlihat atau yang muncul adalah sosok perempuan, terlihat perempuan melakukan pekerjaan untuk membantu perekonomian keluarganya untu menyambung hidupnya.

Gender

PERANAN PEREMPUAN NIAS DESA “Boronadu”

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.

Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Perempuan adalah mitra laki-laki, tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi Patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Hal semacam ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan, Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya.

Perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah atau suami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tapi jumlahnya masih sedikit.

Dapur merupakan tempat perempuan Nias bekerja dan berinterkasi, dimana laki-laki Nias tidak boleh menginjakkan kaki di dapur, bahkan dianggap tabu jika laki-laki memegang peralatan dapur seperti piring, panci, parutan dan lainnya. Selain mengerjakan pekerjaan di dapur, perempuan Nias juga mengerjakan pekerjaan lain seperti mencuci, menjemur pakaian dan berkebun.

Jika seorang laki-laki Nias melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya di kerjakan oleh perempuan maka hal itu berhubungan dengan harga diri keluarga, jika tetangga melihat atau mengetahui laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah maka penghuni rumah tersebut akan merasa malu.

Hal lain juga dapat terlihat dari kegiatan perempuan Nias saat bepergian baik pergi berkebun dan mengunjungi saudara di desa lain, saat ingin pergi ke kebun perempuanlah yang lebih dominan pekerjaannya, dimana keperluan berkebun di bawa oleh perempuan baik peralatan berkebun sampai bekal, perempuanlah yang membawanya, sedangkan laki-lakinya hanya membawa gari (golok) untuk berladang.

Pada saat berada di kebun perempuan juga yang memiliki pekerjaan yang lebih dominan, dimana perempuan mengumpulkan sayuran, mengumpulkan coklat dan talas. Sedangkan laki-laki hanya menyadap karet lalu mengupas coklat dan memasukkannya ke dalam wadah yang di siapkan. Orang Nias jarang membawa buah coklat utuh ke rumah, melainkan hanya bijinya saja.

Pada saat pulang perempuan juga yang melakukan pekerjaan berat dengan membawa biji coklat dan sayuran, sesampainya di rumah juga perempuan Nias tidak dapat langsung istirahat seperti laki-laki Nias. Perempuan membereskan biji coklat dan membereskan peralatan rumah yang kotor kemudian mempersiapkan makan malam. Tidak jauh beda dengan keadaan jika berkunjung ke rumah saudara, perempuan yang membawa semua keperluan keluarga. Para perempuan harus bekerja, jika perempuan bermalas-malasan maka akan menjadi gunjingan bagi masyarakat.

Perempuan Nias adalah entitas yang eksklusif yang harus dijaga pihak keluarganya dari laki-laki. Perempuan di Nias tidak bebas bergaul dengan laki-laki, jika perempuan akrab bermain dengan laki-laki maka hal itu dianggap merendahkan harga diri keluarga pihak perempuan. Jika hal itu terjadi maka paman si perempuanlah yang paling marah karena menurut perhitungan boli niha (keseluruhan harta yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada perempuan) pamanlah yang mendapatkan bagian cukup besar, jika keponakan perempuannya dinodai dan direndahkan, harganya menjadi turun itu berarti bagian si paman menjadi kecil.

Menurut tradisi perempuan Nias harus dijaga karena perempuan adalah harta keluarga. Hal ini dapat dilihat ketika prosesi acara pernikahan, dimana perempuan itu dibeli oleh pihak laki-laki, pembelian perempuan dapat dilakukan sejak perempuan itu masih kecil dengan membayar sebanyak dua pertiganya dulu, yang dikenal dengan istilah solaya iraono atau kawin gantung. Setelah dibayar dua pertiganya, anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak laki-lak, yang jika sudah dewasa akan dinikahin. Tujuan dari kawin gantung ini adalah untuk membantu orang tua laki-laki karena anak perempuan itu bisa bekerja seperti pembantu. Selain itu, solaya iraono dilakukan untuk alas an meningkatkan hubungan. Jika selama kawin gantung itu calon suami meninggal, maka anak perempuan itu bida diperistri oleh saudara kandung oleh calon suami atau tidak jarang juga diperistri oleh calon bapak mertuanya.

Perhitungan membeli perempuan dilakukan dengan menggunakan potongan daun pucuk kelapa (bulu nohi safusi) di atas tikar. Yang mehitung adalah pihak keluarga perempuan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menikahi seorang perempuan Nias juga dapat dilihat dengan status social si perempuan atau status social keluarganya, misalnya saja keluarga perempuan tersebut berstatus social tinggi, seperti keluarga salawa (kepala desa) atau ketua adat. Semakin tinggi status keluarga maka semakin mahal bayaran yang dilakukan. Karena mahalanya nilai perempuan di Boronadu maka tidak sedikit pemuda Nias memilih merantau keluar dan mencari istri di luar system adat Nias Boronadu.

Berbeda lagi jika status perempuan itu rendah misalnya saja perempuan itu korban pelecehan seksual. Bila seorang perempuan hamil di luar nikah, maka orangtuanya akan mengawinkannya dengan lelaki yang lain, bukan kepada lelaki yang sudah menodainya, sehingga perempuan itu menjadi rebutan bagi pemuda Nias alasannya karena harga perempuan itu menjadi murah.. Pada persoalan ini kepada laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap si perempuan, seakan-akan diberi dispensasi untuk tidak mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Masih banyak contoh lain. Berdasarakan kenyataan di atas, maka telah terjadi ketidak-adilan gender. Telah terjadi ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan.

Secara garis besar, ada 5 (lima) bentuk ketidak-adilan gender :

1) Marginalisasi, yaitu: Pemiskinan atau peminggiran peran perempuan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa disebabkan oleh: a) Miskin karena di miskinkan; b)Timbul karena ideologi patriarkat, yang selalu memberi kedudukan yang lebih tinggi kepada laki-laki; c) Menyudutkan perempuan ke posisi yang menyudutkan; d)Mempersempit peluang atau kesempatan kepada perempuan.

2) Subordinasi, yaitu: Adanya anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, tidak perlu memegang jabatan yang terlalu tinggi.

3) Stereotipe (citra baku), artinya: Ciri perempuan yang sudah dikonstruksi/dibentuk oleh manusia, dan timbul pandangan untuk membakukannya. Contohnya, merawat anak, memasak, dan menjaga keutuhan keluarga.

4) Beban ganda, maksudnya: Perempuan mempunyai beban pekerjaan di luar rumah dan sekaligus beban tanggungjawab diri sendiri, keluaga dan masyarakat.

5) Kekerasan, maksudnya: Perempuan adalah korban tindak kekerasan yang berupa fisik misalnya: pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan terhadap istri.

Kelima bentuk ketidak-adilan di atas hampir sudah merasuki kehidupan kita kaum perempuan. Maka patutlah kita sebagai perempuan mulai sekarang menyadari bahwa:

a) Kaum laki-laki hendaknya menghormati dan menghargai peran perempuan yang pada zaman ini sama pentingnya dengan laki-laki.

b) Kaum perempuan harus terus berjuang memikirkan dan berusaha menggunakan peluang dan kesempatan untuk terpanggil dalam dunia publik.

c) Kaum perempuan harus mendukung semua gerakan dan program yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapat tempat / kedudukan yang wajar.

d) Kaum perempuan perlu mengorganisasikan diri. Untuk organisasi perempuan yang sudah ada diharapkan untuk meningkatkan mutunya supaya dapat menjadi tempat untuk melatih diri kaum perempuan secara profesional, yang tidak memandang golongan, jenis kelamin, suku dan agama.Ketidak-adilan gender ini seharusnya secara pelan-pelan dihapuskan.

Cara untuk kesetaraan dan keadilan Gender dapat terwujud hendaklah hal itu dimulai dari skop kecil yaitu dalam keluarga kita sendiri. Mulai dari hal kecil bagaimana menempatkan hak anak baik laki-laki maupun perempuan, memberi pemahaman yang sama kepada seluruh anggota keluarga akan peran dan tugas secara adil dari setiap aspek kehidupan keluarga. Menanamkan perasaan kesamaan hak dan kewajiban, kesempatan dan kedudukan dalam diri anak. Menciptakan suasana keluarga yang saling menghargai sikap dan perilaku serta saling mengerti akan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Seluruh anggota keluarga harus ikut berperan dalam setiap proses pengambilan keputusan.


Referensi

Website

http://www.museum.pusaka-Nias.org/?p=236

http://mandrehe.wordpress.com/2009/09/28/masalah-gender-dalam-adat-perkawinan-Nias/

buku

Sonjaya, agung. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos. Kanisus. Jogjakarta.

TEORI KONFLIK

LEWIS A COSER

Coser mengembangkan persfektif konflik karya ahli sosiologi jerman George Simmel. Konflik dapat merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan, penyatuan dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik adapat menempatkan dan menjaga garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat memperkuat kembali identitas kelompok dan melindunginya agar tidak lebur ke dalam dunia sosial sekelilingnya.

Seluruh fungsi positif konflik tersebut dapat dilihat dalam ilustrasi suatu kelompok yang sedang mengalami konflik dengan kelompok lain.

Contoh:

Pengesahan pemisahan gereja kaum tradisional (yang mempertahankan praktek-praktek ajaran katolik pra-Konsili Vatican II) dan gereja Anglo-Katolik (yang berpisah dengan gereja Episcopal mengenai masalah pentahbisan waita). Perang yang terjadi bertahun-tahun yang terjadi di Timur Tengah telah memperkuat identitas kelompok Negara Arab dan Israel

Menurut coser konflik terbagi dua, yaitu:

1. Konflik realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyekyang dianggap mengecewakan. Misalnya para keryawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan gaji dipenuhi

2. Konflik Non-realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat maju melakukan pengkambing hitaman sebagai pengganti ketidak mampuan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.

RALF DAHENDORF

Teori konflik dahendorf merupakan separuh penerimaan, separuh penolakan, serta modifikasi teori sosiologi Karl Marx. Karl Marx berpendapat bahwa pemilikan dan kontrol sarana-sarana juga bertugas sebagai pengontrol apalagi pada abad kesembilan belass. Bentuk penolakan tersebut ia tunjujjan dengan memaparkan perubaha yang terjadi di masyarakatb industri semenjak abad kesembilan belas, diantaranya:

1. Dekomposisi modal

2. Dekomposisi tenaga kerja

3. Timbulnya kelasmenengah baru

Contoh:

Kasus kelompok minoritas yang pada tahun 1960-an kesadarannya telah memuncak, antara lain termasuk kelompk-kelompok kulit hitam, wanita, suku indian dan Chicanos. Kelompk wanita sebelum tahun 1960-an merupakan kelompok semu yang ditolak oleh kekuasaan di sebagian besar struktur sosial dimana mereka berpartisipasi. Pada pertengahan tahun 1960-an muncul kesadaran kaum wanita untuk menyamakan derajatnya dengan kaum laki-laki.

GERHARD E. LENSKI

Teori lenski merupakan penyatuan teori konflik dan fungsionalisme kedalam suatu kesatuan dalam kerangka evolusioner. Dari konflik radikal lenski memperoleh postulat hakikat masyarakat, penggunaan paksaan dalam sistem stratifikasi dan tingkat dimana konflik sosial melahirkan perbedaan. Dari fungsionalisme konservatif lenski mengambil pandangan mengenai hakikat manusia serta keharusan tentang adanya perbedaan. Lenski mencoba menyatukanaspek-aspek posisi konservatif dan radikal tentan bagaimana hak serta privilse diperoleh, serta peranan Negara dalam stratifikasi ( Margaret M. Poloma 2007:164).

“Power and Privilege” adalah studi yang dikemukakakn oleh lenski tentang sistem distribusi dari totalitas masyarakat dimana lenski menjawab hubungan sebab-akibat (kurvalinear) antara teknologi dan struktur sosial yang dihasilkan serta kekuatan sistem pelapisasan yang ada.

Contoh:

1. Masyarakat primitiv (berburu dan meramu)

Lapisan ekonomi sedikir karena kurangnya surplus, masyarakat tersebut memiliki sistem terbuka berdasarkab prestise personal, sehingga konflik dan paksaan sangat minim

2. Masyarakat mulai berkembang (masyarakat agraris)

Tingkat teknologi lebih tinggi dan strukrur lebih kompleks, maka surplus barang-barang ekonomi akan jatuh ke tangan para pemenang persaingan. Sehingga sistem pelapisan konflik dan paksaan, baik di dalam maupun diantara masyarakat memainkan peranan penting.

3. Masyarakat industri

Susunan atau stratifikasi sudah kompleks, kurang kaku, perbedaan sosialnya menurun.

Post Modernisme pada perayaan May Day

Posmodernisme merupakan sebuah istilah yang sangat kompleks. Dalam bidang akademis istilah tersebut ramai dibicarakan pada sekitar tahun 1980-an. Istilah posmodernisme juga sukar untuk didefinisikan, karena begitu luasnya bidang kajian yang dicakupnya. Mulai dari seni, arsitektur, musik, film, sastra, sosiologi, antropologi, komunikasi, teknologi bahkan sampai pada fashion. (sumber http://widijanto.wordpress.com/2010/06/26/multikulturalisme-sebuah-titik-temu-postmodernisme/)

Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuah teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori. Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari modernisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai (wikipedia).

Menurut kelompok, Teori Postmodernisme merupakan salah satu teori yang cocok dikaitkan dengan adanya demonstrasi pada perayaan May Day tahun 2011 di lapangan Merdeka, sebab teori ini adalah teori yang menyetujui adanya kebebasan dalam menyuarakan pendapat, zaman dimana demokrasi diumbar – umbar sebagai lambang bahwa semua hal itu benar, semua tindakan manusia itu benar. Misalnya saja dalam kasus ini ada demonstrasi yang anarki, dalam konsep teori postmodernisme hal ini dibenarkan, begitu juga ada seorang pengendara sepeda motor yang menerobos lampu merah,semua itu dibenarkan.

Istilah Postmodernisme dipopulerkan oleh para seniman, penulis, dan kritikus sastra yang menunjukkan sebuah gerakan yang menolak modernisme berhenti dalam birokrasi. Dalam bidang filsafat, Postmodernisme berarti kritik-krtik filosofis atas gambaran dunia, epistemologi dan ideologi-ideologi modern. Dengan kata lain, istilah postmodernisme di bidang filsafat menunjuk pada segala bentuk refleksi kritik atas paradigma-paradigma modern dan metafisika pada umumnya. Bahasa dan sastra adalah salah satu cara untuk mengungkapkan sesuatu yang menjadi objek utama dalam Hermeneutika. Hermeneutika menurut Gadamer adalah sebuah refleksi kritis atas cara-cara kita memahami dunia dan atas bentuk-bentuk pemahaman itu. Menurutnya, bahasa adalah cara yang khas dari manusia di dunia ini.( http://eka.web.id/postmodern-pengertian-dan-ulasan.html).

Postmodern juga dikenal sebagai istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan implikasi sosial budaya serta seni kontemporer yang berkembang apda akhir abad 20 dan awal abad 21. Perkembangan ini ditandai dengan globalisasi, era konsumerisme, dan komoditasi pengetahuan. Postmodernisme juga digunakan untuk menandai periode seni, desain dan arsitektur yang dimulai pada tahun 1950-an sebagai respon terhadap gaya desain modernisme. Postmodernisme merupakan kritik terhadap modernisme dengan penolakan gaya hidup mapan generasi tua, sikap kritis yang mendukung paham atau isu-isu dunia ketiga, mengakomodir sikap individu akibat tren budaya massa dan melahirkan beberapa subbudaya diluar budaya utama. (Sumber: http://hanifah-azzahra.blogspot.com/2009/04/sejarah-komunikasi-visual-masa_3218.html)

Menurut Pauline Rosenau (1992 dalam Ritzer, 2007) postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya.

Dalam bukunya Mengenal Posmodernisme : for begginers, Appignanesi, Garrat, Sardar, dan Curry (1998) mengatakan bahwa postmodernisme menyiratkan pengingkaran, bahwa ia bukan modern lagi. Postmodernisme, pada hakikatnya, merupakan campuran dari beberapa atau seluruh pemaknaan hasil, akibat, perkembangan, penyangkalan, dan penolakan dari modernisme. Postmodernisme adalah kebingungan yang berasal dari dua teka-teki besar, yaitu :
Ia melawan dan mengaburkan pengertian postmodernisme. Ia menyiratkan pengetahuan yang lengkap tentang modernisme yang telah dilampaui oleh zaman baru, Sebuah zaman, zaman apapun, dicirikan lewat bukti perubahan sejarah dalam cara kita melihat, berpikir, dan berbuat. Kita dapat mengenali perubahan ini pada lingkup seni, teori, dan sejarah ekonomi.

CIRI-CIRI POSTMODERNISME

Terdapat delapan karakter sosiologis postmodernisme yang menonjol, yaitu :

1. Timbulnya pemberontakan secara kritis terhadap proyek modernitas; memudarnya kepercayaan pada agama yang bersifat transenden ; dan diterimanya pandangan pluralisme relativisme kebenaran.

2. Meledaknya industri media massa, sehingga ia bagaikan perpanjangan dari sistem indera, organ dan saraf kita, yang pada urutannya menjadikan dunia menjadi terasa kecil. Lebih dari itu, kekuatan media massa telah menjelma bagaikan “agama” atau “tuhan” sekuler, dalam artian perilaku orang tidak lagi ditentukan oleh agama-agama tradisional, tetapi tanpa disadari telah diatur oleh media massa, semisal program televisi.

3. Munculnya radikalisme etnis dan keagamaan. Fenomena ini muncul diduga sebagai reaksi atau alternatif ketika orang semakin meragukan terhadap kebenaran sains, teknologi dan filsafat yang dinilai gagal memenuhi janjinya untuk membebaskan manusia, tetapi sebaliknya, yang terjadi adalah penindasan.

4. Munculnya kecenderungan baru untuk menemukan identitas dan apresiasi serta keterikatan rasionalisme dengan masa lalu.

5. Semakin menguatnya wilayah perkotaan (urban) sebagai pusat kebudayaan, dan wilayah pedesaan sebagai daerah pinggiran. Pola ini juga berlaku bagi menguatnya dominasi negara maju atas negara berkembang. Ibarat negara maju sebagai “titik pusat” yang menentukan gerak pada “lingkaran pinggir”.

6. Semakin terbukanya peluang bagi klas-klas sosial atau kelompok untuk mengemukakan pendapat secara lebih bebas. Dengan kata lain, era postmodernisme telah ikut mendorong bagi proses demokratisasi.

7. Era postmodernisme juga ditandai dengan munculnya kecenderungan bagi tumbuhnya eklektisisme dan pencampuradukan dari berbagai wacana, potret serpihan-serpihan realitas, sehingga seseorang sulit untuk ditempatkan secara ketat pada kelompok budaya secara eksklusif.

8. Bahasa yang digunakan dalam waacana postmodernisme seringkali mengesankan ketidakjelasan makna dan inkonsistensi sehingga apa yang disebut “era postmodernisme” banyak mengandung paradoks

(Sumber: http://nashir6768.multiply.com/journal/item/10)

Terdapat banyak contoh kasus dalam sosial budaya Indonesia yang dianggap sebagai suatu sifat atau kegiatan postmodern dalam sudut pandang kaum postmodern itu sendiri. Misalnya dari media elektronik, berupa televisi. Bentuk iklan rokok A mild menggunakan filsafat posmodern yang terlihat dari tema-tema yang sering diajukan terkesan sangat tidak berhubungan dengan produknya, malah lebih sarat dengan tema politik dan sosial yang sedang berkembang. Seperti sebelumnya, tagline ‘talk less do more’ yang menyindir kepada orang – orang yang hanya bisa berbicara tapi tidak ada tindakan , atau tagline ‘tanya kenapa’ juga menyindir pendidikan di Indonesia, begitu juga dengan tagline ‘ wani piro’ yang menyindir para koruptor dan penyuap. Selain itu bentuk dekonstruksi dan hyperealis dapat kita temukan dalam internet dan game online, yang kini sangat digandrungi oleh masyarakat khususnya kaum muda-mudi. Facebook yang merupakan bentuk network engine (sarana mencari teman di dunia maya yang difasilitasi dengan foto diri, testimonial/pendapat dari teman-temannya, buletin board yang berfungsi sebagai papan pengumuman telah menjadi rumah kedua dalam masyarakat untuk bersosialisasi secara maya. Foto yang ditampilkan merupakan aspal (asli tetapi palsu), walau ada sebagaian yang memasang dengan foto yang asli. ,chatting : kenal di dunia maya tetapi belum tentu kenal di dunia nyata. Selain itu bentuk desain poster/pamflet ataupun media promosi lainnya, yang ada kini sering berkesan berantakan, asal , atau mungkin mengambil dari masa lalu. Selamat datang dunia maya, selamat datang informasi, selamat datang dunia posmodern.

(Sumber: http://tpers.net/2010/08/postmodernisme-disekitar-kita/)

DEMONSTRASI

Fenomena sosial-budaya yakni demonstrasi menjadi salah satu fokus penelitian kelompok. Demosntran yang menjadi objek penelitian kami adalah para buruh yang merayakan May Day. Pada perayaan May Day ini terdapat beberapa serikat buruh yang menuntut hak – hak mereka, seperti hilangkan bangun industri nasional untuk kesejahteraan rakyat, penindasan pada buruh, tanngap dan adili sisa harta koruptor dan kembalikan pada rakyat, begitu juga yang paling penting adalah kenaikan kualitas hidup dirinya dan keluarganya. Berdasarkan pernyataan mereka saat orasi, “ baru – baru ini ada pengusaha sawit yang merayakan 100 tahun sawit,akan tetapi di perkebunan upah buruh hanya 200 rb perbulan, paling tinggi 300 rb, bahkan tanah rakyat di sekeliling perkebunan sering diambil alih pihak perkebunan.”

Demonstrasi ini menandai berlakunya teori postmodernisme dimana setiap orang bebas menyuarakan pendapatnya secara demokrasi. Teori postmodernisme mendukung berlakunya demokrasi khususnya di Indonesia. Walau secara umum teori ini bersifat majemuk sesuai yang diuraikan pada alinea – alinea sebelumnya, akan tetapi sangat terkait dengan adanya fenomena demonstrasi ini.

Contoh-contoh budaya postmodern antara lain:

  • ekletisme, adalah pemikiran atau upaya untuk menggabungkan nilai dan unsur lama dengan unsur baru, tradisional dengan lokal.
  • subculture, lyotard mengartikan postmodern sebagai ketidak percayaan terhadap segala pemikiran, referensi atau narasi besar (pemikiran yang menguasai secara totaliter). jika narasi besar adalah liberalisme atau kapitalis, semantara narasi kecil adalah marxisme, narasi kecil yang lain adalah feminisme, persamaan hak bagi gay, lesbian, etnografi, lintas budaya, dll.
  • deskontruksi, modernisme percaya pada keteraturan, formalitas yang rasional, maka postmodern menolak semua itu dengan memunculkan konsep deskontruksi. namun sebagian pemikir postmodern percaya bahwa modernisme dapat diperbaiki sebagian demi sebagian tanpa harus menolak dan menciptakan deskontruksi
  • parodi, modernisme berati bersifat rasional, funsional, sistematis. postmodern menolaknya karena diangga menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan yang penuh dengan perasaan.
  • hiperealitas, hilangnya batas seni dan kehidupan. banyak karya seni yang ditampilakn di ruang publik, trotoar, tembok jalan, eksperimental seni, seni kejadian, konsepsi, instalasi, dll
  • kistch, lahirnya seni yang tidak berpedoman pasa arus utama kesenian. seni pop dan seni massa diangkat sebagai salah satu bagian dari seni garda depan.
  • doublecoding, seni yang tidak lagi memiliki makna tunggal. segala bentuk yang mungkin untuk bermakna ganda, parodi dan juga ironi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Teori Postmodernisme adalah antitesis dari modernisme yang selalu memunculkan ciri-ciri yang menentang adanya modernitas. Teori Postmodernisme merupakan salah satu teori yang cocok dikaitkan dengan adanya demonstrasi pada perayaan May Day tahun 2011 di lapangan Merdeka, sebab teori ini adalah teori yang menyetujui adanya kebebasan dalam menyuarakan pendapat, zaman dimana demokrasi diumbar – umbar sebagai lambang bahwa semua hal itu benar, semua tindakan manusia itu benar. Misalnya saja dalam kasus ini ada demonstrasi yang anarki, dalam konsep teori postmodernisme hal ini dibenarkan, begitu juga ada seorang pengendara sepeda motor yang menerobos lampu merah,semua itu dibenarkan.

SARAN

Posmodernisme terkadang memberi dampak positif bagi perubahan. Namun, terkadang modernisme juga perlu guna mengembalikan standar estetika kehidupan.

Multikulturalisme Masyarakat Jalan Tanduan (Pardamean) Kec. Medan Perjuangan

Multikulturalisme Masyarakat Jalan Tanduan (Pardamean) Kec. Medan Perjuangan

A. Latar Belakang

Multikulturalisme menurut Lawrance A. Blum adalah pemahaman, penilaian atas budaya seseorang serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Multikulturalisme menegaskan identitas cultural seseorang atau masyarakat, mempelajari warisan budaya mereka. Rasa keingintahuan akan kebudayaan diluar budaya kita merupakan sebuah penghormatan terhadap budaya orang lain. Hal ini tercermin juga pada masyarakat yang berada di Jalan Pardamean Kecamatan Medan Perjuangan.

Ditandai dengan lokasi tempat beribadah masyarakat yang beragama Islam berdekatan dengan tempat ibadah masyarakat yang beragama Kristen Protestan.

Kami tertarik untuk mengamati proses social antara mereka yang berbeda agama dalam kehidupan sehari – harinya. Berbagai hal yang mereka lakukan, apakah ada perbedaan perlakuan diantara sesama warga Jalan Pardamean tersebut? Hal ini menjadi alasan kami melakukan pengamatan ke masyarakat yang ada di jalan pardamean. Bahkan kami melihat selama ini situasi yang aman dan terkendali karena sebenarnya masalah keberagaman rentan terhadap konflik seperti agama di tempat tersebut.

Hal – hal seperti keributan, suara bising ketika ibadah sholat berlangsung ternyata tidak membuat masyarakat yang beragam yakni di Jalan Pardamean menjadi anti social. Mereka memegang teguh toleransi umat beragama dan toleransi umat manusia meskipun beranekaragam satu sama lainnya.

B. Pembahasan

1. Melakukan Percakapan Dengan Pak Ustad B. Siregar

Pada hari Jum’at minggu lalu, kami merencanakan untuk melakukan wawancara kepada masyarakat yang beragama Islam di Jalan Pardamean. Hari Jum’at merupakan hari yang sudah lazim atau biasa bagi orang Islam melakukan sholat sekitar pukul 12 siang dan hanya untuk kaum laki - laki saja. Kami telah membuat apa kisi – kisi yang hendak ditanya dan siapa yang ditanya.

Beberapa teman terlebih dahulu hadir daripada teman yang lain. Mereka terlambat datang sesuai perjanjian yang telah disepakati. Sehingga kami langsung menuju mesjid. Kami mengamati situasi di dalam gedung mesjid terlebih dahulu. Siapa saja yang sudah hadir dan bolehkah masuk yang beragama nonmuslim menjadi sebuah tanda tanya.

Ternyata teman sebagai orang yang beragama Islam sudah menanyakan kepada Pak Ustad apakah yang nonmuslim bisa masuk. Pak Ustad mengizinkan kami untuk semua masuk kedalam gedung mesjid. Pada saat itu, Pak Ustad B. Siregar sedang membaca buku – buku bernuansa Islami dengan tulisan aksara arab. Dia sudah bersiap – siap untuk memimpin sholat Jum’at pada saat itu dia ditugasi menjadi khotib.

Dia duduk di dekat tiang penopang mesjid yang berlantai dua itu. Bagian depan mesjid ialah jalan raya dan diatas drainase atau parit dibangun mereka sebagai tempat mengambil air wudhu sebelum masuk kedalam mesjid. Selain tempat air wudhu disebelah kiri mesjid adalah tempat parkir motor atau kereta.

Kamipun setelah didalam langsung menyalami Pak Ustad yang sebenarnya belum kami kenal. Kami juga sepertinya masi khawatir akibat tidak membawa sepucuk suratpun sebagai mandat atau pengantar kami melakukan penelitian. Kami langsung memberikan keterangan identitas kami dan memberikan keterangan kalau kami tidak diberi surat tugas, hanya saja diperintahkan dari dosen sebagai praktik. Pak Ustad pun memberi kami ketenangan dengan mengatakan kepada kami anggap saja kalian datang sebagai komunikasi bertukan pikiran dan sharing.

Dari paras muka dan bentuk tubuh Pak Ustad yang sedikit gemuk dan sudah berusia diatas 50 tahun ternyata bapak ini juga sebagai pegawai negeri sipil golongan IV C. Beliau sering mengajar di IAIN dan juga UNIMED untuk beberapa mata kuliah yang berbau Islami. Percakapan pun berlanghsung lama. Kami sudah memulainya dari mempertanyakan bagaimana toleransi umat beragama dan sejarah dibangunnya mesjid ini.

Ternyata dia seorang yang intelektual yang memberikan kami keterangan begitu jelas dan luas sekali. Pak Ustad memberi keterangan kalau gedung mesjid dan gedung gereja seperti di Jalan Pardamean adalah suatu hal yang biasa di Sumatera Utara. Hanya di Sumatera Utara saja yang dapat memperbolehkan gedung ibadah berdekatan katanya. Ini secara historis dapat dilihat dari Tapanuli Selatan tepatnya di Sipirok. Daerah ini memiliki mesjid dan gereja yang berdiri hanya dibatasi oleh pagar, mereka disana cukup damai dan harmoni. Kemudian terjadi juga hal yang sama di Lima Puluh. Di Lima Puluh juga ada gereja dan mesjid yang bersamping – sampingan dan warganya tetap harmonis seperti di Sipirok tersebut. Di jalan pardamean sebenarnya masih lebih jauh jaraknya dibanding dua daerah sebelumnya.

Sumatera Utara yang mengizinkan terjadinya seperti itu merupakan sebuah kebaikan tersendiri dalam hal agama yang boleh ditiru oleh daerah lain di Indonesia katanya. Ada daerah lain yang meskipun satu kabupaten luasnya tetapi hanya mengizinkan satu agama saja yang boleh berdiri gedung ibadahnya. Misalnya mesjid saja yang boleh berdiri di kabupaten itu sedangkan gereja tidak atau sebaliknya. Hal seperti itu masih ada terjadi di Indonesia ini.

Menurut ust. Siregar hal tersebut telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW, dilingkungan rasulullah tersebut ada satu tempat ibadah kaum kafir berdekatan dengan rumah Rasulullah. Meskipun berbeda aqidah tetapi terjalin toleransi, misalnya saja makanan orang kafir tidak dimakan oleh orang agama Islam hal ini dikarenakan aqidah yang dianut oleh agama islam tetapi orang kafir dapat menikmati makanan orang agama Islam. Mereka tetap hidup damai, Rasulullah mengajarkan kepada kaumnya bahwa selama tidak menyangkut kepada aqidah maka toleransi itu harus dilakukan.

Setelah berbicara mengenai sejarah berdirinya mengapa berdekatan, bapak itu berbicara mengenai sejarah dibangunnya mesjid di jalan pardamean tersebut. Pak Ustad B. Siregar yang sudah berpuluh – puluh tahun menjadi pemimpin di agama Islam serta di berbagai daerah kabupaten maupun kota di Sumatera Utara. Sebelum dia berada di Jalan Pardamean ini, dia pernah juga hidup bersama orang Karo. Dia pernah di kecamatan Tiga Panah, Barus Jahe, serta Kec. Munthe sekitarnya Kabupaten Karo. Dia menyebutkan kalau orang Karo sangat ramah tamah. Sekitar sepuluh tahun lebih di daerah Karo membuat Pak Ustad mengenal sedikit bahasa daerah Karo. Salah satu teman kami memperkenalkan dirinya dari Kabanjahe Kab. Karo.

Percakapan pun semakin meriah ketika Lamhot mewawancarai dia dengan bahasa Karo. Di Kec. Munthe katanya, banyak orang Kristen juga dan kepala desanya pun orang Kristen. Namun ketika ada acara Islam maupun Kristen dia tidak ketinggalan hadir kalau diundang oleh kepala desa. Pada tahun 1966, menurut Pak Ustad mesjid di daerah jalan pardamean sudah ada. Karena pada tahun 1973 Pak Ustad sudah pernah datang ke jalan pardamean. Dibangunnya mesjid lebih awal dibangun daripada bangunan gereja HKBP yang ada di jalan pardamean. Pada saat itu kondisi mesjid belum semegah sekarang ini yang sudah menggunakan keramik dan berlantai dua dari awalnya yang hanya dari papan dan jauh lebih kecil. Sejak dia berada di jalan pardamean menjadi seorang ustad belum pernah ada ditemukannya indikasi ataupun gejala – gejala yang menjurus kepada konflik agama.

Contoh toleransi yang sering ditonjolkan oleh masyarakat di jalan pardamean adalah menghargai umat lain untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya seperti ketika ada kebaktian di gereja HKBP pardamean tersebut dan kalau orang Islam juga sedang beribadah maka suara toa mesjid itu akan diperkecil dan arahnya tidak mengarah ke gereja atau dialihkan. Tidak pernah ada yang mengatakan bahwasanya orang sholat lima waktu itu agama Islam membuat suara – suara kebisingan. Masyarakat warga jalan pardamean sudah terbiasa menghargai orang yang beragama lain.

Pak Ustad mengatakan kalau interaksi maupun komukasi terhadap orang yang di luar agam Islam boleh – boleh saja sebelum atau tidak melanggar kaidah – kaidah agama Islam. Artinya selama komunikasi atau interaksi itu sesuai atau tidak melanggar khaidah agama Islam maka dengan siapa pun boleh bergaul atau berinteraksi.

Sebagai cobntoh adalah orang Kristen mewngucapakan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada orang Islam melalui Spanduk – spanduk yang di bentangkan di jalan pardamean sebagai ungkapan menghargai perayaan agama tetangga. Pembicaraan kami akhirnya mengerucut bahwa di jalan pardamean belum ditemukan adanya konflik antar agama. Mereka sangat menghormati agama lain, kata Pak Ustad dalam gotong royong seperti membersihkan parit juga selalu bergotong royong tanpa ada perbedaan perlakuan seperti dari rumah si A kerumah si B yang membersikan agama Kristen atau Batak, dan dari rumah si B ke rumah si C adalah khusus orang Islam. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat itu. Di akhir pembicaraan kami pun dimintai nomor telepon oleh Pak Ustad manakala ada keperluan data boleh di SMS atau di telepon.

2. Percakapan dengan Warga dan Kepling

Pertemuan kami yang kedua melakukan wawancara dengan Kepling Di Jalan Pardamean. A. Sijabat adalah nama pak Kepling di Jalan Pardamean. Pertemuan itu berlangsung setelah kami berencana menjumpai tokoh agama Kristen yang kebetulan hari Minggu pula. Namun kami tidak berhasil karena dia sangat sibuk melayani Ibadah. Kami sempat mengambil beberapa foto di depan gedung gerja.

Setelah itu percakapan pun kami lanjutkan terhadap orang-orang yang melaksanakan kebaktian di gereja itu prihal toleransi umat beragama dan pemahaman multikulturalisme dalam masyarakat setempat. Mereka mengetahui kalau lebih banyak mahasiswa yang menjadi warga daripada penduduk asli dilihat dari rumah kos-kosan warga terhadap mahasiswa, juga dapat dilihat di gereja HKBP jumlah orang yang melaksanakan kebaktian hampir seimbang bahkan lebih banyak mahasiswa. Mereka hidup secara berdampingan meskipun mereka sadar akan keberagaman etnis maupun agama dan usia satu pendidikan.

Kami juga melakukan percakapan dengan tukang roti yang beragama Islam yang sedang menjajakan rotinya di depan gereka HKBP tersebut. Dia mengakui walaupun beragam, tetapi bukan menjadi penghambat terhadap mereka untuk melaksanakan interaksi dan kontak. Percakapan dengan mereka semua hanya sepintas lalu saja dilakukan. Setelah itu kami pun beranjak ke rumah pak Kepling.

Kami bertanya pada seorang ibu yang sedang berjualan sayur, yang kebetulan ibu itu berjualan di depan rumah pak Kepling tersebut. Dengan ramah ibu tersebut menjawab pertanyaan kami sembari memberi tahukan rumah pak Kepling. Kemudian tanpa membuang waktu, kami pun langsung menuju rumah pak Kepling. Terlihat pak Kepling duduk dengan santai di teras rumahnya. Dengan senyuman yang sederhana pak Kepling pun menyambut kami dengan sangat ramah. Rumah yang ditempati pak Kepling tersebut tidak begitu luas dan tidak besar, namun kelihatan rapi dan barang-barang yang disusun dengan baik. Terdapat kursi-kursi dan meja yang terbuat dari plastic berada diantara kami. Namun kami memilih untuk duduk di lantai saja agar terasa lebih nyaman.

Bapak itu pun bertanya maksud kedatangan kami ke rumah beliau. Salah satu tim kami pun memberi sedikit penjelasan. Karena kami tidak membawa surat jalan atau pengantar dan kemudian bapak itu pun memberi respon prihal kebiasaan mahasiswa yang membutuhkan data dari kepling yang jarang membawa surat tugas. “Banyak juga yang saya tolak, karena mahasiswa tidak membawa surat dengan alasan tidak diberi oleh dosen,” ungkapnya.

Ternyata bapak itu mempunyai sikap yang sangat ramah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepadanya. Selain itu bapak itu pun lebih banyak mengacu pembicaraan untuk sharing-sharing dan tidak usah terlalu formal, ujarnya. Pak kepling pun mulai menceritakan kebiasaan yang biasa dilakukannya pada hari Minggu. Pada jam 10.00 wib biasanya pak kepling sudah tidak di rumah, karena ia selalu menghabiskan waktu di luar rumah alias pergi jalan-jalan. Bertepatan dengan datangnya kami, sama seperti jam biasa beliau tidak ada di rumah. “Beruntung kalian karena saya masih ada di rumah, biasanya jam-jam segini saya sudah berkelana”, ujarnya. Kami pun tertawa”hahaha”.

Lalu kami pun menjelaskan tujuan kedatangan kami. Kami pun bertanya, “pak, bagaimana kondisi masyarakat di jl. Perdamean sebagai warga yang beragam etnis dan agama? Apakah pernah terjadi konflik atau tidak?”. Bapak itu pun menjawab “selama saya menjadi kepling (sejak 1987-sekarang) belum pernah ada indikasi/gejala konflik agama meskipun tempat ibadah Agama Islam dan Kristen berdekatan. Warga Jl Perdamean semuanya mempunyai toleransi yang tinggi antar sesama umat beragama.” Berbagai hal boleh dikatakan sebagai hubungan yang harmonis, seperti :

Ø Jika ada acara di gereja pada saat orang Islam juga beribadah, maka sebagaimana biasanya mesjid menggunakan pengeras suara/toa maka suaranya akan diperkecil dan tidak mengarah ke gereja. Hal ini sering dilakukan jika terjadi persamaan waktu pelaksanaan masing-masing agama.

Ø Sebelum buka puasa tiba, orang beragama Islam akan menahan nafsu makannya karena sedang menunaikan ibadah puasa. Orang beragama kristen turut serta untuk menjaga kenyamanan situasi dengan cara tidak sembarangan makan pada saat agama Islam sedang berpuasa.

Ø Gotong-royong yang diadakan oleh kepling sangat direspon dengan antusias oleh warga. Mereka tidak begitu mempermasalahkan tentang agama. Baik itu agama Islam maupun agama Kristen & mereka juga tidak membedakan suku-suku yang ada. Semua ikut serta dalam gotong-royong tersebut. Kelemahan dari gotong-royong ini adalah jika hari Minggu dilaksanakan, maka bagi yang beragama Kristen tidak dapat ikut serta karena sedang beribadah. Tetapi kelemahan tersebut tidak menjadi sebuah kendala bagi Pak Kepling untuk mensiasati warganya untuk turut serta dalam gotong-royong tersebut. Pak kepling pun membagi 3 (tiga) waktu untuk gotong-royong. Jadi, warga yang beragama kristen dapat juga membagi tenaganya. Misalnya, gotong royong 1 (pertama) dilaksanakan pukul 08.00 wib. Tetapi warga kristen yang tidak dapat ikut serta dapat mengikuti kegiatan gotong-royong pada jam ke 2 (dua) atau malah jam ke 3 (tiga)

Ø Spanduk ucapan selamat pada hari-hari tertentu juga sering mereka buat secara silang. Maksudnya disini, jika acara-acara besar sedang dilaksananka maka tanpa memandang dari agama mana, mereka turut serta dalam spanduk ucapan tersebut

Setelah begitu banyak pembicaraan kami dengan pak kepling tadi, dia pun sadar bahwa dia belum menyodorkan kami minuman sebagaimana yang biasa beliau lakukan jika ada orang yang bertamu. “Maaf lah ya dek, ibu telah pulang kampung sehingga minuman tidak dapat dihidangkan,” ujarnya. Kami semua bertanya-tanya pada diri masing-masing sambil melihat teman sebelah karena bingung apa maksud perkataan pak kepling tersebut. Kemuadian dia pun menjelaskan maksud perkataannya tadi. “Ibu sudah berpulang untuk selamanya, karena sakit yang dideritanya. Ia berpulang sekitar satu tahun yang lalu,” kata bapak itu.

Istri bapak itu ternyata penderita kanker payudara. Ia pun menceritakan sedikit derita yang pernah dialaminya sebelum ibu meniggal. Sedikit menumpahkan kesedihannya pada kami. Kami pun mendengar dengan wajah haru. “Pada saat ibu berada di rumah sakit, mereka (warga, baik agama Kristen maupun Islam) datang menjenguk ibu dengan toleransi yang sangat tinggi. Saat ibu meninggal pun mereka turut serta dalam kesedihan yang bapak derita, sambil menyemangati bapak. Rasa persaudaraan sangat ditonjolkan oleh warga tersebut”, ujar bapak itu.

C. KESIMPULAN

Multikulturalisme terbentuk dari kata multi yang artinya banyak, kultur yang artinya budaya, dan isme yang artinya faham/aliran. Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan keunikan budaya masing-masing. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya pertentangan antar suatu etnis tertentu dengan etnis lainnya. Pembakaran gedung gereja dan banyak hal lainnya.

Sebagai sebuah ideology, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur aktivitas kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, ekonomi, bisnis, politik, dan lainnya yang bersangkutan. Adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya bagi bangsa Indonesia. Meski demikian, hal ini tidak secara otomatis diiringi dengan penerimaan yang positif pula, bahkan banyak fakta yang justru memberi sumbangan terbesar bagi munculnya ketegangan dan konflik.

Dengan keadaan itu akan kontraproduktif terhadap penciptaan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis, dan toleransi. Untuk itu diperlukan upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran multikulturalisme agar potensi positif terkandung dalam keragaman/plural tersebut dapat diimplementasikan secara benar dan berkelanjutan.

Memang harus diakui bahwa multikulturalisme di Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat tersebut. Masih banyak yang belum mampu menerima dan memberi pengekuan akan budaya orang lain, apalagi mempelajari serta memberi nilai-nilai positif bagi orang lain masih sulit dijalankan.

Hal itu sangat rentan akan terjadinya ketegangan antaretnis/agama. Keberagaman yang tercipta di Jalam Perdamean tersebut 2 (dua) agama dianut oleh warganya, membangun rumah ibadah yang berdekatan tetapi tetap terjalin kondisi aman dan kondasif tanpa ada percekcokan/ketegangan tentang persoalan agama.

Toleransi umat beragma tercermin dalam proses ritus keagamaan yang saling menghargai saling menghormati dan mendukung.rasa iba akan perbedaan tersebut tidak hanya dari segi agama tetapi juga etnis.masing-masing saling memenjalankan ibadahnya degan bebas dan transparan. Kondisi multikulturalisme bagaikan pedang bermta dua.dari satu sisi ia merupakan modalitas yang besar dan menghasilkan energy positif,tetapi di sisi lain manaakala perbedaan tersebut tidak bias di kelola dengan baik,majadi ledakan destruktif yang bias menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan atau disintegrasi bangsa.