Powered By Blogger

Kamis, 10 Maret 2011

Asimilasi dan Akulturasi

1. A. Pengertian Assimilasi dan Akulturasi Menurut Ahli:

Penegrtian Assimilasi:

1) Asimilasi menurut Koentjara Ningrat (1996: 160) adalah suatu proses sosial yang terjadi pada berbagai golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda setelah mereka bergaul secara insentif, sehingga sifat khas dari unsur-unsur kebudayaan golongan-golongan itu masing-masing berubah menjadi unsur-unsur kebudayaan campuran.

2) Asimilasi menurut Ogburn and Nimkoff: "(Asimilation) is process of interpenetration and fusion in which persons and groups anquires the memories, sentiment, and attitudes of other persons or groups, and by sharing their experience and history, are incorporated with them in a cultural life" (Ogburn and Nimkoff, 1964).

"(Asimilation) adalah proses dari interpenetration dan perpaduan individu dan kelompok anquires kenangan, sentimen, dan sikap orang lain atau kelompok, dan dengan berbagi pengalaman dan sejarah, digabungkan dengan mereka dalam kehidupan budaya"

3) Asimilasi menurut Garbarino: "Assimilation (is) absorption of a group into the ways of the dominant society and the group general loss of cultural distinctiveness as a result" (Garbarino, 1983).

Asimilasi (adalah) penyerapan kelompok ke dalam cara masyarakat dominan dan kelompok hilangnya umum kekhasan budaya sebagai akibatnya" (Garbarino, 1983).

Simak

Baca secara fonetik

4) Asimilasi menurut Soerjono Soekamto: Asimilasi merupakan proses sosial yang ditandai dengan adanya usaha-usaha mengurangi perbedaan-perbedaan yang terdapat antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok manusia yang meliputi usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindak, sikap, dan proses mental dengan memperhatikan tujuan dan kepentingan bersama.


5) Assimilasi menurut Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735) “a process of interpretation and fusion in which persons and groups aquire the memories, sentiments, and attitude of other persons or groups, and, by sharing their experience and history, are incorporated with them in a common cultural life".

“Proses interpretasi dan fusi di mana orang-orang dan kelompok memperoleh kenangan, sentimen, dan sikap orang lain atau kelompok, dan, dengan berbagi pengalaman dan sejarah, digabungkan dengan mereka dalam kehidupan kebudayaan bersama ".

Penegrtian Akulturasi:

1) Koentjaraningrat (1996: 155): Akulturasi adalah suatu proses social yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsure-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsure-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ki dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

2) Menurut Garbarino:"Acculturation (is) the process of culture change as a result of long term, face to face contact between two societies" (Garbarino, 1983).

Akulturasi (adalah) proses perubahan budaya sebagai akibat jangka panjang, tatap muka kontak antara dua masyarakat "(Garbarino, 1983).

3) Menurut Ta Chee Beng: "Acculturation is the kind of cultural change of one ethnic group or a certain population of ethnic group (A) in relation to another ethnic group (B) such that certain cultural features of A become similar or bear some resemblance to those of B" (Ta Chee Beng, 1988).

Akulturasi adalah jenis perubahan budaya dari satu kelompok etnis atau populasi tertentu dari kelompok etnis (A) dalam hubungannya dengan kelompok etnis lain (B) sedemikian rupa sehingga budaya tertentu fitur dari A menjadi serupa atau beruang kemiripan kepada mereka dari B "(Ta Chee Beng, 1988).

4) Akulturasi menurut Robert E.Park dan Ernest W.Burgess (1921:735) “comprehends those phenomena which result when groups of individuals having different culture comes into continous first hand contact, with subsequent changes in the original cultural patterns of either or both groups".

“Memahami fenomena yang terjadi ketika kelompok individu yang memiliki budaya yang berbeda datang ke dalam kontak tangan terus pertama, dengan perubahan berikutnya dalam pola-pola budaya asli dari salah satu atau kedua kelompok ".

5) Akulturasi menurut Arnold M.Rose (1957:557-558) “ the adoption by a person or group of the culture of another social group."

"adopsi oleh orang atau kelompok budaya lain kelompok sosial"

6) Menurut Redfield, Linton, Herskovits Akulturasi meliputi fenomena yang timbul sebagai hasil, jika kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu, dan mengadakan kontak secara terus menerus, yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya.

Dari definisi tersebut terlihat bahwa akulturasi adalah salah satu aspek daripada culture change dan asimilasi adalah salah satu fase dari akulturasi, sedang difusi adalah daripada akulturasi

7) Menurut Krober: Akulturasi itu meliputi perubahan didalam kebudayaan yang disebabkan oleh adanya pengaruh dari kebudayaan yang lain, yang akhirnya menghasilkan makin banyaknya persamaan pada kebudayaan itu.

Menurut krober, difusi adalah salah satu aspek dari akulturasi.

8) Gillin & Gillin Dalam bukunya “culture Sosiology”, memberikan definnisi mengenai akulturasi sebagai proses dimana masyarakat-masyarakat yang berbeda-beda kebudayaannya mengalami perubahan oleh kontak yang sama dan langsung, tetapi dengan tidak sampai kepada pencampuran yang komplit dan bulat dari kedua kebudayaan itu.

B. Contoh Bentuk Akulturasi dan Assimilasi yang terjadi di Indonesia:

Contoh Assimilasi:

1. Assimilasi yang terjadi pada masyarakat Surabaya, masyarakat Surabaya terdiri atas mayarakat pribumi yang merupakan masyarakat mayoritas dan maysarakat Cina yang merupakan masyarakat minoritas, dimana masyarakat Cina menggunakan bahasa Surabaya, sehingga bahasa yang menjadi bahasa Ibu mereka tidak nampak, masyarakat cina di Surabaya menggunakan dialek Surabaya sehingga terlihat medok.

2. Pada masyarakat pesisir di Kampung Nelayan, Belawan. Terdiri atas masyarakat Melayu, Banjar, Mandailing dan Jawa, dari semua suku yang ada disana yang merupakan suku mayoritas adalah suku melayu. Terjadi asimilasi pada wilayah tersebut yakni masyarakat yang merupakan msyarakat minoritas menggunakan dialek melayu sebagai bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan adat pernikahan, mereka juga menggunakan adat “Kampung” yakni istilah menamakan melayu.

3. Asimilasi yang terjadi pada masyarakat cina di Surabaya, dimana orang-orang Surabaya sering dianggap kasar, tegas, terbuka, kurang sabar, straight to the point tanpa basa basi, mudah memaki pada teman, kesetiakawanan tinggi diantara teman. Secara singkat, suatu sikap terkombinasi antara sidat-sifat pemberani, terbuka dan setia kawan, sikap yang seperti demikian ini sering disebut sebagai bagian dari 'Arek Surabaya'. Di dalam hubungan antar-etnik juga terjadi interaksi dengan sifat-sifat yang demikian pada kedua insannya baik orang Surabaya kelompok Pribumi atau orang Surabaya kelompok Cina. (Musianto, 1997: 208). Sehingga terlihat jika dalam berinteraksi orang cina di Surabaya telah memiliki karakter yang sama dengan masyarakat Surabaya aslinya, hal ini di karenakan keduanya lama berinterakasi sehingga masyarakat cina yang merupakan kelompok minoritas menyesuaikan dengan masyarakat mayoritas yakni masyarakat Surabaya.

4. Keberadaan kaum pedagang Tamil pada abad ke-11 di pantai barat Sumatera, kemudian dikaitkan oleh sejumlah penulis dengan migrasi yang mereka lakukan ke arah pedalaman Sumatera karena terdesak oleh kekuatan armada pedagang-pedagang dari Arab/Mesir (Brahma Putro, 1979). Brahma Putro, seorang warga suku Karo yang menulis buku “Karo dari Jaman ke Jaman” (1979) menyebutkan bahwa orang-orang Tamil yang terdesak dari Barus kemudian terasimilasi dengan suku Karo yang tinggal di Dataran Tinggi Tanah Karo (pedalaman Sumatera), dan mereka inilah di kemudian hari yang menjadi keturunan marga (klen) Sembiring (Maha, Meliala, Brahmana, Depari), Sinulingga, Pandia, Colia, Capah, dsb. Secara fisik warga Karo dari kelompok klen tersebut memiliki persamaan dengan orang-orang Tamil (http://pussisunimed.wordpress.com/2010/01/28/komunitas-tamil-dalam-kemajemukan-masyarakat-di-sumatera-utara/)

5. Asimilasi dalam pemberian nama Indonesia bagi orang Tionghoa, misalnya contohnya Liem Sioe Liong yang mengganti namanya menjadi Sudono Salim dan kelompok yang mempertahankan nama mereka, hanya tidak menggunakan karakter Tionghoa, namun huruf Latin (yang khas Indonesia, karena dipengaruhi cara pengejaan setempat), contohnya Liem Swie King dan Kwik Kian Gie. Sementara kelompok yang kedua hanya memiliki satu nama saja dan nama keluarganya terletak di depan, kelompok yang pertama mempertahankan kedua-dua nama mereka dan mempergunakannya silih berganti sesuai dengan keadaan. Nama keluarga kelompok yang pertama juga diletakkan di belakang, dan tidak ada konsensus resmi (dikarenakan minimnya komunikasi dan persebarannya di seluruh Indonesia) tentang transliterasi dari marga Tionghoa resmi (Liem, Tio, Kwik, dll) menjadi ejaan Indonesia (Liem menjadi Salim, Halim, Limawan, dll).

Contoh Akulturasi:

1) Akulturasi yang terjadi pada masyarakat PUJAKUSUMA, yakni dapat dilihat pada suku-suku Jawa yang sudah lama tinggal di Medan, yang mana karakter dan kepribadiannya dipengaruhi oleh dua kebudayaaan yakni jawa yang memiliki tatakrama dalam berbicara dan sopan santun yang lembut, serta batak yang memiliki watak keras dalam berbicara. Sehingga muncul sesuatu yang baru yakni masyarakat PUJAKUSUMA menggunakan bahasa jawa yang tidak sama dengan bahasa jawa dari jawa asli yakni bahasa jawa yang kasar misalnya saja untuk menyebutkan kata “Kepala”, bahasa jawa asli menggunakan “Sirah” tetapi pada masyarakat PUJAKUSUMA menggunakan kata “Endas” yang menurut bahasa jawa asli kasar dan biasanya “Endas” itu digunakan untuk menyebutkan kepala binatang misalnya “Endas Pitik”. Hal itu terjadi karena mereka Masyarakat jawa sudah bergaul bersama dan dalam waktu yang lama dengan masyarakat medan yang memiliki karakter keras.

2) Akulturasi dalam adat Pernikahan masyarakat Pujakusuma di Medan, ada perpaduan kebudayaan yakni jawa dengan melayu, hal ini bisa dilihat dengan prosesi acaranya. Masyarakat jawa di medan dalam upacara pernikahan menggunakan upacara “Tepung Tawar” yang merupakan kebudayaan melayu, selain Tepung Tawar masyarakat jawa tersebut mengguanakan “Bale-Bale” yang kebudayaan tersebut tidak ada pada akar kebudayaan masyarakat jawa yakni masyarakat jawa asli di Pulau Jawa, meskipun mengadopsi upacara dari kebudayaan melayu masyarakat jawa tidak menghilangkan kebudayaan mereka sendiri yakni dalam prosesi acara pernikahan masih menggunakan upacara Siraman, Pecah Telur dan lainnya.

3) Upacara Nyepi yang dilaksanakan oleh umat Hindu Bali, merupakan perpaduan dari kepercayaan upacara Hindu-Budha. Upacara tersebut tidak dilaksanakan oleh umat Hindu di India. Halini bisa terjadi karena Sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Indonesia adalah kepercayaan yang berdasarkan pada Animisme dan Dinamisme. Dengan masuknya agama Hindu - Budha ke Indonesia, masyarakat Indonesia mulai menganut/mempercayai agama-agama tersebut. Agama Hindu dan Budha yang berkembang di Indonesia sudah mengalami perpaduan dengan kepercayaan animisme dan dinamisme, atau dengan kata lain mengalami Sinkritisme, Sinkritisme adalah bagian dari proses akulturasi, yang berarti perpaduan dua kepercayaan yang berbeda menjadi satu. dan Budha yang berkembang di Indonesia, berbeda dengan agama Hindu - Budha yang dianut oleh masyarakat India. Perbedaaan-perbedaan tersebut dapat Anda lihat dalam upacara ritual yang diadakan oleh umat Hindu atau Budha yang ada di Indonesia yakni upacra Nyepi.

4) Wujud akulturasi dalam sistem pemerintahan juga terlihat dalam sistem kemasyarakatan, yaitu pembagian lapisan masyarakat berdasarkan sistem kasta. Sistem kasta menurut kepercayaan Hindu terdiri dari kasta Brahmana (golongan Pendeta), kasta Ksatria (golongan Prajurit, Bangsawan), kasta Waisya (golongan pedagang) dan kasta Sudra (golongan rakyat jelata). Kasta-kasta tersebut juga berlaku atau dipercayai oleh umat Hindu Indonesia tetapi tidak sama persis dengan kasta-kasta yang ada di India karena kasta India benar-benar diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, sedangkan di Indonesia tidak demikian, karena di Indonesia kasta hanya diterapkan untuk upacara keagamaan.

5) Wujud akulturasi dalam bidang bahasa, dapat dilihat dari adanya penggunaan bahasa Sansekerta yang dapat Anda temukan sampai sekarang dimana bahasa Sansekerta memperkaya perbendaharaan bahasa Indonesia. Penggunaan bahasa Sansekerta banyak ditemukan pada prasasti (batu bertulis) peninggalan kerajaan Hindu - Budha pada abad 5 - 7 M, contohnya prasasti Yupa dari Kutai, prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Tetapi untuk perkembangan selanjutnya bahasa Sansekerta di gantikan oleh bahasa Melayu Kuno seperti yang ditemukan pada prasasti peninggalan kerajaan Sriwijaya 7 - 13 M. Untuk aksara, dapat dibuktikan adanya penggunaan huruf Pallawa, kemudian berkembang menjadi huruf Jawa Kuno (kawi) dan huruf (aksara) Bali dan Bugis. Hal ini dapat dibuktikan melalui Prasasti Dinoyo (Malang) yang menggunakan huruf Jawa Kuno.

6) Salah satu wujud akulturasi dari peralatan hidup dan teknologi terlihat dalam seni bangunan Candi. Seni bangunan Candi tersebut memang mengandung unsur budaya India tetapi keberadaan candi-candi di Indonesia tidak sama dengan candi-candi yang ada di India, karena candi di Indonesia hanya mengambil unsur teknologi perbuatannya melalui dasar-dasar teoritis yang tercantum dalam kitab Silpasastra yaitu sebuah kitab pegangan yang memuat berbagai petunjuk untuk melaksanakan pembuatan arca dan bangunan. Untuk itu dilihat dari bentuk dasar maupun fungsi candi tersebut terdapat perbedaan. Bentuk dasar bangunan candi di Indonesia adalah punden berundak-undak, yang merupakan salah satu peninggalan kebudayaan Megalithikum yang berfungsi sebagai tempat pemujaan. Sedangkan fungsi bangunan candi itu sendiri di Indonesia sesuai dengan asal kata candi tersebut. Perkataan candi berasal dari kata Candika yang merupakan salah satu nama dewi Durga atau dewi maut, sehingga candi merupakan bangunan untuk memuliakan orang yang telah wafat khususnya raja-raja dan orang-orang terkemuka. Di samping itu, dalam bahasa kawi candi berasal dari kata Cinandi artinya yang dikuburkan. Untuk itu yang dikuburkan didalam candi bukanlah mayat atau abu jenazah melainkan berbagai macam benda yang menyangkut lambang jasmaniah raja yang disimpan dalam Pripih. Dengan demikian fungsi candi Hindu di Indonesia adalah untuk pemujaan terhadap roh nenek moyang atau dihubungkan dengan raja yang sudah meninggal. Hal ini terlihat dari adanya lambang jasmaniah raja sedangkan fungsi candi di India adalah untuk tempat pemujaan terhadap dewa, contohnya seperti candi-candi yang terdapat di kota Benares merupakan tempat pemujaan terhadap dewa Syiwa. Candi Jago, Malang, Jawa Timur merupakan salah satu peninggalan kerajaan Singosari yang merupakan tempat dimuliakannya raja Wisnuwardhana yang memerintah tahun 1248 - 1268. Bentuk dasar candi adalah punden berundak- undak dan pada bagian bawah terdapat kaki candi yang di dalamnya terdapat sumuran candi, di mana di dalam sumuran candi tersebut tempat menyimpan pripih (lambang jasmaniah raja Wisnuwardhana). Untuk candi yang bercorak Budha fungsinya sama dengan di India yaitu untuk memuja Dyani Bodhisattwa yang dianggap sebagai perwujudan dewa, maka untuk memperjelas pemahaman Anda simak gambar 1.3. candi Budha berikut ini . candi Borobudur adalah candi Budha yang terbesar sehingga merupakan salah satu dari 7 keajaiban dunia dan merupakan salah satu peninggalan kerajaan Mataram dilihat dari 3 tingkatan, pada tingkatan yang paling atas terdapat patung Dyani Budha.Patung-patung Dyani Budha inilah yang menjadi tempat pemujaan umat Budha. Di samping itu juga pada bagian atas, juga terdapat atap candi yang berbentuk stupa. Untuk candi Budha di India hanya berbentuk stupa, sedangkan di Indonesia stupa merupakan ciri khas atap candi-candi yang bersifat agama Budha. Dengan demikian seni bangunan candi di Indonesia memiliki kekhasan tersendiri karena Indonesia hanya mengambil intinya saja dari unsur budaya India sebagai dasar ciptaannya dan hasilnya tetap sesuatu yang bercorak Indonesia.

2. Hubungan antara kebudayaan dengan kemiskinan kemudian kaitannya dengan pembangunan!

Kebudayaan jelas mempunyai hubungan dengan kemiskinan. Karena suatu kebudayaan juga dapat mempengaruhi suatu kebudayaan yang ada pada kelompok ataupun di suatu negara. Hal ini karena kemiskinan sering kali ditemui pada masyarakat yang memiliki sistem pengetahuan yang masih kurang dan juga sistem mata pencaharian hidup dengan hasil yang belum mampu mencukupi kebutuhan. Jika dikaitkan dengan pembangunan, maka bisa dikatakan bahwa pembangunan pada suatu negara sangat dipengaruhi oleh kebudayaan . Apabila suatu negara (dengan masyarakatnya) memiliki sistem produksi, distribusi ( negara yang memiliki industri) yang amat handal maka negara tersebut akan maju. Namun bila masyarakat masih memiliki sistem pengetahuan yang rendah maka otomatis proses pembangunan dalam negara tersebut akan terhambat.

Kebudayaan merupakan hasil karya cipta manusia, sehingga kebudayaan inilah yang menjadi dasar pembangunan suatu wilayah. Dimana wujud dari kebudayaan (menurut J. J Honigmann dalam Koenjtaraningrat, 2000) membedakan adanya tiga ‘gejala kebudayaan’ : yaitu : (1) ideas, (2) activities, dan (3) artifact. Wujud ideas (Idil) yakni wujud kebudayaan kompleks dari ide-ide, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. Dari wujud idil ini maka tersalurkan menjadi wujud activities (aktifitas) yaitu wujud kebudayaan sebagai kompleks aktifitas sebagai tindakan berpola manusia, kemudian dari aktifitas itu dihasilkanlah wujud artifact (Fisik) yaitu wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil kebudayaan manusia. Sehingga ketika suatu wilayah dikatakan miskin hal ini erat kaitannya dengan kebudayaan manusiaa atau masyarakat di wilayah tersebut, jika kebudayaan manusia atau masyarakat diwilayah tersebut rendah maka dapat disimpulkan ekonomi wilayah tersebut juga rendah ini berakibat pada pembangunan. Pembangunan merupakan suatu proses dimana real per capita income dari suatu Negara meningkat dalam suatu masa panjang, dan dalam masa yang bersamaan jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan tidak bertambah, dan distribudi pendapatan tidak semakin senjang (Meyer, 1989 Dalam Amri Marzali 2005: 62).

BUDAYA HUKUM, SENI HUKUM DAN SISTEM HUKUM

1. Yang dimaksud dengan budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan (Hadikusuma, 1986).

Diketahuinya budaya hukum masyarakat setempat merupakan bahan informasi yang penting, artinya untuk lebih mengenal susunan masyarakat setempat, sistem hukum, konsepsi hukum, norma-norma hukum dan perilaku manusia. Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi melainkan budaya menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku. Oleh karenanya dalam membicarakan budaya hukum tidak terlepas dari keadaan masyarakat, sistem dan susunan masyarakat yang mengandung budaya hukum tersebut. Budaya hukum merupakan tanggapan yang bersifat penerimaan-penerimaan atau penolakan terhadap suatu peristiwa hukum. Ia menunjukkan sikap perilaku manusia terhadap masalah hukum dan peristiwa hukum yang terbawa ke dalam masyarakat (Hadikusuma, 1986).

Tipe budaya hukum dapat dikelompokkan dalam tiga wujud perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat yaitu:

(1) Budaya parokial (parochial culture)

® Pada masyarakat parokial (picik), cara berpikir para anggota masyarakatnya masih terbatas, tanggapannya terhadap hukum hanya terbatas dalam lingkungannya sendiri. Masyarakat demikian masih bertahan pada tradisi hukumnya sendiri, kaidah-kaidah hokum yang telah digariskan leluhur merupakan azimat yang pantang diubah. Jika ada yang berperilaku menyimpang, akan mendapat kutukan. Masyarakat tipe ini memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemimpin. Apabila pemimpin bersifat egosentris, maka ia lebih mementingkan dirinya sendiri. Sebaliknya jika sifat pemimpinnya altruis maka warga masyarakatnya mendapatkan perhatian, karena ia menempatkan dirinya sebagai primus intervares, yang utama di antara yang sama. Pada umumnya, masyarakat yang sederhana, sifat budaya hukumnya etnosentris, lebih mengutamakan dan membanggakan budaya hukum sendiri dan menganggap hukum sendiri lebih baik dari hukum orang lain (Kantaprawira, 1983).

(2) Budaya subjek (subject culture)

® Dalam masyarakat budaya subjek (takluk), cara berpikir anggota masyarakat sudah ada perhatian, sudah timbul kesadaran hukum yang umum terhadap keluaran dari penguasa yang lebih tinggi. Masukan dari masyarakat masih sangat kecil atau belum ada sama sekali. Ini disebabkan pengetahuan, pengalaman dan pergaulan anggota masyarakat masih terbatas dan ada rasa takut pada ancaman-ancaman tersembunyi dari penguasa. Orientasi pandangan mereka terhaap aspek hukum yang baru sudah ada, sudah ada sikap menerima atau menolak, walaupun

cara pengungkapannya bersifat pasif, tidak terang-terangan atau masih tersembunyi. Tipe masyarakat yang bersifat menaklukkan diri ini, menganggap dirinya tidak berdaya mempengaruhi, apalagi berusaha mengubah sistem hukum, norma hukum yang dihadapinya, walaupun apa yang dirasakan bertentangan dengan kepentingan pribadi dan masyarakatnya (Kartaprawira, 1983).

(3) Budaya partisipant (participant culture)

®Pada masyarakat budaya partisipan (berperan serta), cara berpikir dan berperilaku anggota masyarakatnya berbeda-beda. Ada yang masih berbudaya takluk, namun sudah banyak yang merasa berhak dan berkewajiban berperan serta karena ia merasa sebagai bagian dari kehidupan hukum yang umum. Disini masyarakat sudah merasa mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan. Ia tidak mau dikucilkan dari kegiatan tanggapan terhadap masukan dan keluaran hukum, ikut menilai setiap peristiwa hukum dan peradilan, merasa terlibat dalam kehidupan hukum baik yang menyangkut kepentingan umum maupun kepentingan keluarga dan dirinya sendiri. Biasanya dalam masyarakat demikian, pengetahuan dan pengalaman anggotanya sudah luas, sudah ada perkumpulan organisasi, baik yang susunannya berdiri sendiri maupun yang mempunyai hubungan dengan daerah lain dan dari atas ke bawah (Kantaprawira, 1983).

Budaya hukum, sebagaimana diuraikan, hanya merupakan sebagian dari sikap dan perilaku yang mempengaruhi sistem dan konsepsi hukum dalam masyarakat setempat. Masih ada faktor-faktor lain yang juga tidak kecil pengaruhnya terhadap budaya hukum seperti system dan susunan kemasyarakatan, kekerabatan, keagamaan, ekonomi dan politik, lingkungan hidup dan cara kehidupan, disamping sifat watak pribadi seseorang yang kesemuanya saling bertautan (Hadikusuma, 1986).

2. Yang dimaksud dengan seni hukum adalah ungkapan budaya hukum yang bersifat seni yang penjelmaannya dalam bentuk seni kata, seperti perlambang benda atau pepatah dan pribahasa (Hadikusuma, 1986).

Seni hukum selalu ada pada setiap tingkat msyarakat, karena tidak ada pergaulan manusia tanpa hukum, hukum terdapat pada masyarakat sederhana dan masyarakat beradab, baik dalam masyarakat barat maupun masyarakat timur.

Contoh:

a. Traffic Lights (lampu lalu lintas)

Lampu lalu lintas terdiri atas warna merah yang memiliki arti berhenti, ketika lampu merah menyala maka semua kendaraan tidak boleh melintas. Kemudian warna hijau yang memiliki arti maju, ketika lampu hijau menyala maka semua kendaraan diperbolehkan untuk maju, dan kemudian lampu bewarna kuning yang menandakan hati-hati, bisa juga sebagai pertanda siap-siap, biasanya setelah lampu hijau menyala maka akan menyala lampu warna kuning terlebih dahulu sebagai pertanda akan menyalanya lampu warna merah. Lampu lalu lintas ini merupakan sebi hukum, ketika peraturan dikemas dengan berbentuk symbol yang symbol tersebut di ketahui oleh masyarakat dan masyarakat mematuhinya, jika dilanggar maka akan ada konsekuensinya.

b. Semboyan “orang bijak taat pajak”, dimana hukum dikemas dengan seni berupa semboyan. Kata tersebut menyampaikan kepada masyarakat bahwa orang-orang yang membayar pajak adalah orang-orang bijak, jika masyarakat yang tidak taat pajak maka bukan golongan tersebut. Semboyan tersebut memberikan makna akan kepatuhan diri terhadap Negara, dan hukuman yang diberikan berupa pertentangan batin atas kesadaran diri masyarakat.

3. System hukum merupakan gabungan kata dari system dan hukum, yang mana system adalah suatu cara yang mekanismenya mempunyai pola yang tetap dan bersifat otomatis. Jadi suatu system berarti suatu pertautan kegiatan yang mekanismenya tetap dengan unsure-unsurnya, dimana yang satu dan yang lain berfungsi tidak menyimpang dari porosnya.

Jadi yang dimaksud system hukum adalah suatu cara yang mekanismenya berpola pada hukum ideal yang tetap, dalam ruang lingkup yang terbatas pada masyarakat daerah (desa) tertentu (hadikusuma).

Untuk komponen sistem hukum, pendapat yang sering dijadikan rujukan adalah apa yang dikemukakan oleh Friedman (selain Mustofa dan Suherman, juga Acmad Ali (2003: 7-dst)), yang menyatakan bahwa sistem hukum meliputi substansi, struktur, dan budaya hukum.

Konsepsi hukum adalah gejala atau segi-segi tertentu atau merupakan lambang dari suatu gejala hukum yang tradisional, sebagaimana telah dikemukakan bercorak keagamaan, kebersamaan (komunal), serba kongkrit dan visual, tetapi terbuka dan sederhana.

Konsepsi hukum yang bercorak keagamaan adalah prilaku masyarakat yang berlatar belakang pada adnaya TYME, masih percaya kepada kekuatan ghaib, adanya roh-roh leluhur yang selalu memperhatikan prilaku anak cucu yang masih hidup.

Konsepsi hukum yang bercorak kebersamaan (komunal) terlihat dari masyarakat yang berlatar belakang pola ideal tradisional, yaitu asas kekeluargaan tolong-menolong, dimana kehidupan manusia itu bersifat altruis yang tidak semata-mata mementingkan diri sendiri tetapi juga mementingkan kepentingan orang lain.

Konsepsi hukum yang bercorak konkret dan visual terlihat dari lembaga dan perilaku warga masyarakat yang sederhana, yang menginginkan apa yang yang dihadapi berlaku dengan terang dan tunai tidak tersembunyi.

Konsepsi hukum yang bersifat terbuka dan sederhana terlihat dari lembaga dan kenyataan prilaku warga masyarakat. Terbuka artinya hukum dapat menyesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat, tidak tertutup kemungkinan untuk menerima perubahan karena pengaruh dari luar, asal saja tidak bertentangan dengan hal-hal yang asasi.

Selasa, 08 Maret 2011

Teori Fungsionalisme Struktural dan Teori Neofungsionalisme

TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL

Teori fungsional struktural di pelopori oleh Auguste Comte yakni merupakan bapak sosiologi, dimana beliau mengemukakan bahwa sosiologi adalah studi tentang strata sosial (struktur) dan dinamika sosial (proses/fungsi). Comte di dalam membahas struktur masyrakat menyatakan bahwa “masyarakat adalah laksana organisme hidup”, tetapi comte tidak mengembnagkan konsep tersebut.

Tokoh-tokoh tori Fungsional Struktural

A. Herbert Spencer

Adalah ahli sosiologi Inggris pada pertengahan abad ke-19 yang membahas tentang fungsional struktural dengan menganalogikan struktur biologi dengan struktur sosial. Pembahasan spencer tentang masyrakat sebagai suatu organisme hidup terdapat dalam butir-butir ini (Margaret M. Poloma 2007: 24) :

a. Masyarakat maupun organisme hidup sama-sama mengalami pertumbuhan

b. Strukur tubuh-sosial (social body) maupun organisme hidup (living body) juga mengalami pertumbuhan, dimana semakin besar suatu struktur sosial maka semakin banyak pula bagian-bagiannya seperti halnya dengan sistem biologis yang menjadi semakin kompleks sementara ia tumbuh menjadi semakin besar.

c. Setiap bagian yang tumbuh di dalam tubuh organisme biologis maupun organisme sosial memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Misalnya pada manusia struktur biologis seperti struktur dan fungsi paru-paru berbeda dengan struktur dan fungsi keluarga sebagai struktur institusional memiliki tujuan yang berbeda dengan sistem politik atau ekonomi

d. Di dalam sistem organisme maupun sistem sosial,perubahan pada suatu bagian akan mengakibatkan perubahan pada bagian lain dan pada akhirnya di dalam sistem secara keseluruhan. Misalnya perubahan sistem politik dari suatu pemerintah demokratis ke suatu pemerintahantotaliter akan mempengaruhi keluarga,pendidikan, agama dan sebagainya. Bagian-bagian itus aling berkaitan satu sama lain

e. Bagian-bagian yang saling berkaitan tersebut merupakan suatu struktur-mikro yang dapat dipelajari secara terpisah. Demikianlah maka sistem peredaran atau sitem pembuangan merupakan pusat perhatian para spesialis biologi dan media, seperti halnya sistem politik atau sistem ekonomi merupakan sasaran pengkajian para ahli politik dan ekonomi.

Butir-butir yang dikemukakan spencer merupakan model atau analogi yang tidak harus diterima mentah-mentah, dimana masyarakat tidak benar-benar mirip dengan organisme hidup, dimana keduanya memiliki perbedaan yang sangat jelas. Misalnya saja di dalam sistem organisme yang dianalaogikan sebagai struktural biologi, bagian-bagian saling terkait dalam suatu hubungan yang sangat dekat, sedangkan di dalam sistem-sosial hubungan yang sangat dekat seperti itu tidak begitu terlihat jelas, terkadang bagian-bagian tersebut terpisah. Pikiran spencer yang dilandasi oleh pemikiran comte bahwa masyarakat dapat dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling bergantung satu sama lain.

B. Emile Durkheim

Emile Dukheim adalah seorang sosiolog prancis, durkheim melihat masyrakat modern sebagai keseluruhan organis yang memiliki realitas tersendiri, dimana setiap perangkat tersebut memiliki seperangakat kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi oleh bagian-bagian yang menjadi anggotanya agar dalam keadaan normal, tetap langgeng (Margaret M. Poloma 2007: 25).

Dimana ada suatu dampak jika kebutuhan atau fungsi-fungsi tertentu tidak terpenuhi maka akan berkembang suatu keadaan yang bersifat “patologis” (keadaan tidak seimbang atau perubahan sosial, contohnya di dalam masyarakat modern fungsi ekonomi merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi, jika dalam kehidupan ekonomi mengalami suatu fluktasi yang keras, maka bagian ini akan mempengaruhi bagian lain dari sistem tersebut seperti sistem politik, kemudian sistem keluarga dan kemudian menyebabkan perubahan dalam struktur keagamaan dan akhirnya mempengaruhi sistem keseluruhannya. Keadaan patologis tersebut akan teratasi dengan sendirinya yang mengakibatkan “equilibrium” keadaan normal atau suatu sistem yang seimbang.

C. Radcliffe Brown

Fungsionalisme Brown ini merupakan perkembangan dari teori Fungsional Durkheim. Fungsi dari setiap kegiatan selalu berulang, seperti penghukuman kejahatan, atau upacara penguburan, adalah merupakan bagian yang dimainkannya dalam kehidupan social sebagai keseluruhan dan, karena itu, merupakan sumbangan yang diberikan bagi pemelihara kelangsungan structural (Radcliffe Brown, 1976: 505).

D. Bronislaw Malinowsky

Para ahli antropologi menganalisa kebudayaan dengan melihat pada “fakta-fakta antropologis” dan bagian yang dimainkan oleh fakta-fakta itu dalam system kebudayaan (Malinowski, 1976: 551).

E. Talcott Parson

Fungsionalisme structural Talcott Parsons terkenal dengan skema AGIL. Parson yakin bahwa ada empat fungsi penting yang diperlukan semua system:

1. Adaptation (adaptasi)

Sebuah system harus menanggulangi situasi eksternal yang gawat. Sistem harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan itu dengan kebutuhannya.

2. Goal attainment (pencapaian tujuan)

Sebuah system harus mendefenisikan dan mencapai tujuan utamanya.

3. Integration (integrasi)

Sebuah system harus mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga harus mengelola antarhubungan ketiga fungsi penting lainnya (A, G, L).

4. Latency (latensi atau pemeliharaan pola)

Sebuah system harus memperlengkapi, memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individual maupun pola-pola cultural yang menciptakan dan menopang motivasi.

F. Robert K. Merton

Robert K. Merton, sebagai seorang yang mungkin dianggap lebih dari ahli teori lainnya telah mengembangkan pernyataan mendasar dan jelas tentang teori-teori fungsionalisme, merton merupakan seorang pendukung yang mengajukan tuntutan lebih terbatas bagi perspektif ini. Mengakui bahwa pendekatan fungsional-struktural telah membawa kemajuan bagi pengetahuan sosiologis.

Merton telah mengutip tiga postulat yang ia kutip dari analisa fungsional dan disempurnakannya, diantaranya ialah :

1. postulat pertama, adalah kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari system sosial bekerjasama dalam suatu tingkatan keselarasan atau konsistensi internal yang memadai, tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Atas postulat ini Merton memberikan koreksi bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari satu masyarakat adalah bertentangan dengan fakta. Hal ini disebabkan karena dalam kenyataannya dapat terjadi sesuatu yang fungsional bagi satu kelompok, tetapi dapat pula bersifat disfungsional bagi kelompok yang lain.

2. postulat kedua, yaitu fungionalisme universal yang menganggap bahwa seluruh bentuk sosial dan kebudayaan yang sudah baku memiliki fungsi-fungsi positif. Terhadap postulat ini dikatakan bahwa sebetulnya disamping fungsi positif dari sistem sosial terdapat juga dwifungsi. Beberapa perilaku sosial dapat dikategorikan kedalam bentuk atau sifat disfungsi ini. Dengan demikian dalam analisis keduanya harus dipertimbangkan.

3. postulat ketiga, yaitu indispensability yang menyatakan bahwa dalam setiap tipe peradaban, setiap kebiasaan, ide, objek materiil dan kepercayaan memenuhi beberapa fungsi penting, memiliki sejumlah tugas yang harus dijalankan dan merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam kegiatan system sebagai keseluruhan. Menurut Merton, postulat yang kertiga ini masih kabur ( dalam artian tak memiliki kejelasan, pen ), belum jelas apakah suatu fungsi merupakan keharusan.

Sumber:

Poloma, Margaret M. 2007. Sosiologi Kontemporer.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Ritzer, Goerge & Douglas J. Goodman.2008. Teori-teori Sosiologi Modern Eds.ke-6. Jakarta: Kencana


TEORI NEOFUNGSIONALISME

Neofungsionalisme merupakn istilah yang digunakan untuk menandai kelangsungan hidup teori fungsionalisme struktural sekaligus untuk memperluas teori fungsionalisme struktural. Jeffrey Alexander dan Paul Colomy mendefenisikan neofungsionalisme sebagai “rangkaian kritik-diri teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang sedang mempertahankan inti teorinya” .

Alexander menguraikan beberapa orientasi dasar neofungsionalisme:

1. Neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif.

2. Neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besarnya terhadap tindakan dan keteraturan.

3. Neofungsionalisme tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan social.

4. Neofungsionalisme tetap menerima penekanan Parsionsian tradisional atas kepribadian, kultur, dan system social.

5. Neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan social dalam proses diferensiasi di dalam system social.

6. Neofungsionalisme “secara tak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam mengonseptualisasikan dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologi pada tingkat lain”.

Neofungsionalisme merupakan rekonstruksi dari teori fungsionalisme struktural, dengan tujiuan dapat membangkitkan kembali fungsionalisme struktura dan memberikan dasar untuk pengembangan tradisi teoritis yang baru. Alexander dan colomy menawarkan teori yang lebih terbatas dan sintesis namun tetap holistik,berbeda dengan teori fungsional struktural dari parson yang melihat fungsional struktural sebagai teori yang besar.

Namun neofungsionalisme ini diragukan masa depannya karena pendiri teori tersebut yakni Jeffry Alexander menyatakan keluar dari neofungsionalisme tersebut, hal tersebut dapat dilihat dalam bukunya Neofuncionalism and After (Alexander, 1998) dinyatakan bahwa salah saty tujuan utamanya adalah merekonstruksi (membangun kembali) legitimasi dan arti penting dari teori Parsonsian, dengan secara khusus tujuan dari Alexander tengah berusaha mengembangkan mikrososiologi dan teori kultural

Sember:

Ritzer, Goerge & Douglas J. Goodman .2008. Teori-teori Sosiologi Modern Eds.ke-6. Jakarta: Kencana