Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

Gender

PERANAN PEREMPUAN NIAS DESA “Boronadu”

Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi,hak, tanggungjawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.

Laki-laki dan perempuan adalah sama-sama ciptaan Tuhan. Perempuan adalah mitra laki-laki, tetapi kenyataan di lapangan, laki-laki yang lebih banyak berperan dan mendapat kesempatan pada setiap aspek kegiatan baik politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan lain-lain.Terlebih lebih di daerah Nias yang masih terikat adat dan budaya serta menjunjung tinggi ideologi Patriarkat yang memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada kaum lelaki. Hal semacam ini merupakan diskriminasi terhadap perempuan, Tidak ada kesetaraan dan keadilan dalam peran dan hak-haknya.

Perempuan di Nias pada umumnya hanya diberi peran sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh anak, memasak untuk keluarga, bertindak atas keputusan suami dan berpendidikan sangat rendah. Pada zaman ini perempuan hanya mau mengikuti saja apa yang telah diputuskan oleh ayah atau suami. Kesempatan untuk mengungkapkan pendapat tidak diberikan sama sekali. Namun demikian, oleh karena kemajuan pendidikan dan pengalaman, ada juga keluarga yang tidak hanya didominasi oleh laki-laki atau suami/ayah, tapi jumlahnya masih sedikit.

Dapur merupakan tempat perempuan Nias bekerja dan berinterkasi, dimana laki-laki Nias tidak boleh menginjakkan kaki di dapur, bahkan dianggap tabu jika laki-laki memegang peralatan dapur seperti piring, panci, parutan dan lainnya. Selain mengerjakan pekerjaan di dapur, perempuan Nias juga mengerjakan pekerjaan lain seperti mencuci, menjemur pakaian dan berkebun.

Jika seorang laki-laki Nias melakukan pekerjaan rumah yang seharusnya di kerjakan oleh perempuan maka hal itu berhubungan dengan harga diri keluarga, jika tetangga melihat atau mengetahui laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah maka penghuni rumah tersebut akan merasa malu.

Hal lain juga dapat terlihat dari kegiatan perempuan Nias saat bepergian baik pergi berkebun dan mengunjungi saudara di desa lain, saat ingin pergi ke kebun perempuanlah yang lebih dominan pekerjaannya, dimana keperluan berkebun di bawa oleh perempuan baik peralatan berkebun sampai bekal, perempuanlah yang membawanya, sedangkan laki-lakinya hanya membawa gari (golok) untuk berladang.

Pada saat berada di kebun perempuan juga yang memiliki pekerjaan yang lebih dominan, dimana perempuan mengumpulkan sayuran, mengumpulkan coklat dan talas. Sedangkan laki-laki hanya menyadap karet lalu mengupas coklat dan memasukkannya ke dalam wadah yang di siapkan. Orang Nias jarang membawa buah coklat utuh ke rumah, melainkan hanya bijinya saja.

Pada saat pulang perempuan juga yang melakukan pekerjaan berat dengan membawa biji coklat dan sayuran, sesampainya di rumah juga perempuan Nias tidak dapat langsung istirahat seperti laki-laki Nias. Perempuan membereskan biji coklat dan membereskan peralatan rumah yang kotor kemudian mempersiapkan makan malam. Tidak jauh beda dengan keadaan jika berkunjung ke rumah saudara, perempuan yang membawa semua keperluan keluarga. Para perempuan harus bekerja, jika perempuan bermalas-malasan maka akan menjadi gunjingan bagi masyarakat.

Perempuan Nias adalah entitas yang eksklusif yang harus dijaga pihak keluarganya dari laki-laki. Perempuan di Nias tidak bebas bergaul dengan laki-laki, jika perempuan akrab bermain dengan laki-laki maka hal itu dianggap merendahkan harga diri keluarga pihak perempuan. Jika hal itu terjadi maka paman si perempuanlah yang paling marah karena menurut perhitungan boli niha (keseluruhan harta yang harus dibayarkan pihak laki-laki kepada perempuan) pamanlah yang mendapatkan bagian cukup besar, jika keponakan perempuannya dinodai dan direndahkan, harganya menjadi turun itu berarti bagian si paman menjadi kecil.

Menurut tradisi perempuan Nias harus dijaga karena perempuan adalah harta keluarga. Hal ini dapat dilihat ketika prosesi acara pernikahan, dimana perempuan itu dibeli oleh pihak laki-laki, pembelian perempuan dapat dilakukan sejak perempuan itu masih kecil dengan membayar sebanyak dua pertiganya dulu, yang dikenal dengan istilah solaya iraono atau kawin gantung. Setelah dibayar dua pertiganya, anak perempuan itu dibawa ke rumah pihak laki-lak, yang jika sudah dewasa akan dinikahin. Tujuan dari kawin gantung ini adalah untuk membantu orang tua laki-laki karena anak perempuan itu bisa bekerja seperti pembantu. Selain itu, solaya iraono dilakukan untuk alas an meningkatkan hubungan. Jika selama kawin gantung itu calon suami meninggal, maka anak perempuan itu bida diperistri oleh saudara kandung oleh calon suami atau tidak jarang juga diperistri oleh calon bapak mertuanya.

Perhitungan membeli perempuan dilakukan dengan menggunakan potongan daun pucuk kelapa (bulu nohi safusi) di atas tikar. Yang mehitung adalah pihak keluarga perempuan. Besarnya biaya yang dikeluarkan untuk menikahi seorang perempuan Nias juga dapat dilihat dengan status social si perempuan atau status social keluarganya, misalnya saja keluarga perempuan tersebut berstatus social tinggi, seperti keluarga salawa (kepala desa) atau ketua adat. Semakin tinggi status keluarga maka semakin mahal bayaran yang dilakukan. Karena mahalanya nilai perempuan di Boronadu maka tidak sedikit pemuda Nias memilih merantau keluar dan mencari istri di luar system adat Nias Boronadu.

Berbeda lagi jika status perempuan itu rendah misalnya saja perempuan itu korban pelecehan seksual. Bila seorang perempuan hamil di luar nikah, maka orangtuanya akan mengawinkannya dengan lelaki yang lain, bukan kepada lelaki yang sudah menodainya, sehingga perempuan itu menjadi rebutan bagi pemuda Nias alasannya karena harga perempuan itu menjadi murah.. Pada persoalan ini kepada laki-laki yang telah berbuat jahat terhadap si perempuan, seakan-akan diberi dispensasi untuk tidak mempertanggung-jawabkan perbuatannya. Masih banyak contoh lain. Berdasarakan kenyataan di atas, maka telah terjadi ketidak-adilan gender. Telah terjadi ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan.

Secara garis besar, ada 5 (lima) bentuk ketidak-adilan gender :

1) Marginalisasi, yaitu: Pemiskinan atau peminggiran peran perempuan dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya. Hal ini bisa disebabkan oleh: a) Miskin karena di miskinkan; b)Timbul karena ideologi patriarkat, yang selalu memberi kedudukan yang lebih tinggi kepada laki-laki; c) Menyudutkan perempuan ke posisi yang menyudutkan; d)Mempersempit peluang atau kesempatan kepada perempuan.

2) Subordinasi, yaitu: Adanya anggapan bahwa perempuan itu tidak penting, tidak perlu memegang jabatan yang terlalu tinggi.

3) Stereotipe (citra baku), artinya: Ciri perempuan yang sudah dikonstruksi/dibentuk oleh manusia, dan timbul pandangan untuk membakukannya. Contohnya, merawat anak, memasak, dan menjaga keutuhan keluarga.

4) Beban ganda, maksudnya: Perempuan mempunyai beban pekerjaan di luar rumah dan sekaligus beban tanggungjawab diri sendiri, keluaga dan masyarakat.

5) Kekerasan, maksudnya: Perempuan adalah korban tindak kekerasan yang berupa fisik misalnya: pemerkosaan, pelecehan seksual, penyiksaan terhadap istri.

Kelima bentuk ketidak-adilan di atas hampir sudah merasuki kehidupan kita kaum perempuan. Maka patutlah kita sebagai perempuan mulai sekarang menyadari bahwa:

a) Kaum laki-laki hendaknya menghormati dan menghargai peran perempuan yang pada zaman ini sama pentingnya dengan laki-laki.

b) Kaum perempuan harus terus berjuang memikirkan dan berusaha menggunakan peluang dan kesempatan untuk terpanggil dalam dunia publik.

c) Kaum perempuan harus mendukung semua gerakan dan program yang memberi kesempatan kepada perempuan untuk mendapat tempat / kedudukan yang wajar.

d) Kaum perempuan perlu mengorganisasikan diri. Untuk organisasi perempuan yang sudah ada diharapkan untuk meningkatkan mutunya supaya dapat menjadi tempat untuk melatih diri kaum perempuan secara profesional, yang tidak memandang golongan, jenis kelamin, suku dan agama.Ketidak-adilan gender ini seharusnya secara pelan-pelan dihapuskan.

Cara untuk kesetaraan dan keadilan Gender dapat terwujud hendaklah hal itu dimulai dari skop kecil yaitu dalam keluarga kita sendiri. Mulai dari hal kecil bagaimana menempatkan hak anak baik laki-laki maupun perempuan, memberi pemahaman yang sama kepada seluruh anggota keluarga akan peran dan tugas secara adil dari setiap aspek kehidupan keluarga. Menanamkan perasaan kesamaan hak dan kewajiban, kesempatan dan kedudukan dalam diri anak. Menciptakan suasana keluarga yang saling menghargai sikap dan perilaku serta saling mengerti akan tugas dan tanggungjawab masing-masing. Seluruh anggota keluarga harus ikut berperan dalam setiap proses pengambilan keputusan.


Referensi

Website

http://www.museum.pusaka-Nias.org/?p=236

http://mandrehe.wordpress.com/2009/09/28/masalah-gender-dalam-adat-perkawinan-Nias/

buku

Sonjaya, agung. 2008. Melacak Batu Menguak Mitos. Kanisus. Jogjakarta.

2 komentar:

  1. ya saya setuju dengan kesimpulan saudara atas ketidakadilan gender ini. tetapi saya sedikit mengkritik jika kesimpulan tsb diterapkan pula pada konsep di nias tadi. maksud saya disini, coba kita gunakan perspektif nias, peranan-peranan masing-masing gender terlihat disana, lelaki melakukan apa dan perempuan melakukan apa. itu sudah merupakan sistem di masyarakat nias sendiri. jika kita memaksakan konsep kesetaraan gender disini, menurut saya bukannya akan membuat kedudukan gender sama, tetapi akan menghilangkan sistem adat dan nilai-nilai yang sudah lama dianut oleh masyarakat nias.
    terima kasih

    BalasHapus