Powered By Blogger

Rabu, 23 November 2011

Multikulturalisme Masyarakat Jalan Tanduan (Pardamean) Kec. Medan Perjuangan

Multikulturalisme Masyarakat Jalan Tanduan (Pardamean) Kec. Medan Perjuangan

A. Latar Belakang

Multikulturalisme menurut Lawrance A. Blum adalah pemahaman, penilaian atas budaya seseorang serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Multikulturalisme menegaskan identitas cultural seseorang atau masyarakat, mempelajari warisan budaya mereka. Rasa keingintahuan akan kebudayaan diluar budaya kita merupakan sebuah penghormatan terhadap budaya orang lain. Hal ini tercermin juga pada masyarakat yang berada di Jalan Pardamean Kecamatan Medan Perjuangan.

Ditandai dengan lokasi tempat beribadah masyarakat yang beragama Islam berdekatan dengan tempat ibadah masyarakat yang beragama Kristen Protestan.

Kami tertarik untuk mengamati proses social antara mereka yang berbeda agama dalam kehidupan sehari – harinya. Berbagai hal yang mereka lakukan, apakah ada perbedaan perlakuan diantara sesama warga Jalan Pardamean tersebut? Hal ini menjadi alasan kami melakukan pengamatan ke masyarakat yang ada di jalan pardamean. Bahkan kami melihat selama ini situasi yang aman dan terkendali karena sebenarnya masalah keberagaman rentan terhadap konflik seperti agama di tempat tersebut.

Hal – hal seperti keributan, suara bising ketika ibadah sholat berlangsung ternyata tidak membuat masyarakat yang beragam yakni di Jalan Pardamean menjadi anti social. Mereka memegang teguh toleransi umat beragama dan toleransi umat manusia meskipun beranekaragam satu sama lainnya.

B. Pembahasan

1. Melakukan Percakapan Dengan Pak Ustad B. Siregar

Pada hari Jum’at minggu lalu, kami merencanakan untuk melakukan wawancara kepada masyarakat yang beragama Islam di Jalan Pardamean. Hari Jum’at merupakan hari yang sudah lazim atau biasa bagi orang Islam melakukan sholat sekitar pukul 12 siang dan hanya untuk kaum laki - laki saja. Kami telah membuat apa kisi – kisi yang hendak ditanya dan siapa yang ditanya.

Beberapa teman terlebih dahulu hadir daripada teman yang lain. Mereka terlambat datang sesuai perjanjian yang telah disepakati. Sehingga kami langsung menuju mesjid. Kami mengamati situasi di dalam gedung mesjid terlebih dahulu. Siapa saja yang sudah hadir dan bolehkah masuk yang beragama nonmuslim menjadi sebuah tanda tanya.

Ternyata teman sebagai orang yang beragama Islam sudah menanyakan kepada Pak Ustad apakah yang nonmuslim bisa masuk. Pak Ustad mengizinkan kami untuk semua masuk kedalam gedung mesjid. Pada saat itu, Pak Ustad B. Siregar sedang membaca buku – buku bernuansa Islami dengan tulisan aksara arab. Dia sudah bersiap – siap untuk memimpin sholat Jum’at pada saat itu dia ditugasi menjadi khotib.

Dia duduk di dekat tiang penopang mesjid yang berlantai dua itu. Bagian depan mesjid ialah jalan raya dan diatas drainase atau parit dibangun mereka sebagai tempat mengambil air wudhu sebelum masuk kedalam mesjid. Selain tempat air wudhu disebelah kiri mesjid adalah tempat parkir motor atau kereta.

Kamipun setelah didalam langsung menyalami Pak Ustad yang sebenarnya belum kami kenal. Kami juga sepertinya masi khawatir akibat tidak membawa sepucuk suratpun sebagai mandat atau pengantar kami melakukan penelitian. Kami langsung memberikan keterangan identitas kami dan memberikan keterangan kalau kami tidak diberi surat tugas, hanya saja diperintahkan dari dosen sebagai praktik. Pak Ustad pun memberi kami ketenangan dengan mengatakan kepada kami anggap saja kalian datang sebagai komunikasi bertukan pikiran dan sharing.

Dari paras muka dan bentuk tubuh Pak Ustad yang sedikit gemuk dan sudah berusia diatas 50 tahun ternyata bapak ini juga sebagai pegawai negeri sipil golongan IV C. Beliau sering mengajar di IAIN dan juga UNIMED untuk beberapa mata kuliah yang berbau Islami. Percakapan pun berlanghsung lama. Kami sudah memulainya dari mempertanyakan bagaimana toleransi umat beragama dan sejarah dibangunnya mesjid ini.

Ternyata dia seorang yang intelektual yang memberikan kami keterangan begitu jelas dan luas sekali. Pak Ustad memberi keterangan kalau gedung mesjid dan gedung gereja seperti di Jalan Pardamean adalah suatu hal yang biasa di Sumatera Utara. Hanya di Sumatera Utara saja yang dapat memperbolehkan gedung ibadah berdekatan katanya. Ini secara historis dapat dilihat dari Tapanuli Selatan tepatnya di Sipirok. Daerah ini memiliki mesjid dan gereja yang berdiri hanya dibatasi oleh pagar, mereka disana cukup damai dan harmoni. Kemudian terjadi juga hal yang sama di Lima Puluh. Di Lima Puluh juga ada gereja dan mesjid yang bersamping – sampingan dan warganya tetap harmonis seperti di Sipirok tersebut. Di jalan pardamean sebenarnya masih lebih jauh jaraknya dibanding dua daerah sebelumnya.

Sumatera Utara yang mengizinkan terjadinya seperti itu merupakan sebuah kebaikan tersendiri dalam hal agama yang boleh ditiru oleh daerah lain di Indonesia katanya. Ada daerah lain yang meskipun satu kabupaten luasnya tetapi hanya mengizinkan satu agama saja yang boleh berdiri gedung ibadahnya. Misalnya mesjid saja yang boleh berdiri di kabupaten itu sedangkan gereja tidak atau sebaliknya. Hal seperti itu masih ada terjadi di Indonesia ini.

Menurut ust. Siregar hal tersebut telah dicontohkan Nabi Muhammad SAW, dilingkungan rasulullah tersebut ada satu tempat ibadah kaum kafir berdekatan dengan rumah Rasulullah. Meskipun berbeda aqidah tetapi terjalin toleransi, misalnya saja makanan orang kafir tidak dimakan oleh orang agama Islam hal ini dikarenakan aqidah yang dianut oleh agama islam tetapi orang kafir dapat menikmati makanan orang agama Islam. Mereka tetap hidup damai, Rasulullah mengajarkan kepada kaumnya bahwa selama tidak menyangkut kepada aqidah maka toleransi itu harus dilakukan.

Setelah berbicara mengenai sejarah berdirinya mengapa berdekatan, bapak itu berbicara mengenai sejarah dibangunnya mesjid di jalan pardamean tersebut. Pak Ustad B. Siregar yang sudah berpuluh – puluh tahun menjadi pemimpin di agama Islam serta di berbagai daerah kabupaten maupun kota di Sumatera Utara. Sebelum dia berada di Jalan Pardamean ini, dia pernah juga hidup bersama orang Karo. Dia pernah di kecamatan Tiga Panah, Barus Jahe, serta Kec. Munthe sekitarnya Kabupaten Karo. Dia menyebutkan kalau orang Karo sangat ramah tamah. Sekitar sepuluh tahun lebih di daerah Karo membuat Pak Ustad mengenal sedikit bahasa daerah Karo. Salah satu teman kami memperkenalkan dirinya dari Kabanjahe Kab. Karo.

Percakapan pun semakin meriah ketika Lamhot mewawancarai dia dengan bahasa Karo. Di Kec. Munthe katanya, banyak orang Kristen juga dan kepala desanya pun orang Kristen. Namun ketika ada acara Islam maupun Kristen dia tidak ketinggalan hadir kalau diundang oleh kepala desa. Pada tahun 1966, menurut Pak Ustad mesjid di daerah jalan pardamean sudah ada. Karena pada tahun 1973 Pak Ustad sudah pernah datang ke jalan pardamean. Dibangunnya mesjid lebih awal dibangun daripada bangunan gereja HKBP yang ada di jalan pardamean. Pada saat itu kondisi mesjid belum semegah sekarang ini yang sudah menggunakan keramik dan berlantai dua dari awalnya yang hanya dari papan dan jauh lebih kecil. Sejak dia berada di jalan pardamean menjadi seorang ustad belum pernah ada ditemukannya indikasi ataupun gejala – gejala yang menjurus kepada konflik agama.

Contoh toleransi yang sering ditonjolkan oleh masyarakat di jalan pardamean adalah menghargai umat lain untuk melaksanakan ibadah sesuai agamanya seperti ketika ada kebaktian di gereja HKBP pardamean tersebut dan kalau orang Islam juga sedang beribadah maka suara toa mesjid itu akan diperkecil dan arahnya tidak mengarah ke gereja atau dialihkan. Tidak pernah ada yang mengatakan bahwasanya orang sholat lima waktu itu agama Islam membuat suara – suara kebisingan. Masyarakat warga jalan pardamean sudah terbiasa menghargai orang yang beragama lain.

Pak Ustad mengatakan kalau interaksi maupun komukasi terhadap orang yang di luar agam Islam boleh – boleh saja sebelum atau tidak melanggar kaidah – kaidah agama Islam. Artinya selama komunikasi atau interaksi itu sesuai atau tidak melanggar khaidah agama Islam maka dengan siapa pun boleh bergaul atau berinteraksi.

Sebagai cobntoh adalah orang Kristen mewngucapakan selamat Hari Raya Idul Fitri kepada orang Islam melalui Spanduk – spanduk yang di bentangkan di jalan pardamean sebagai ungkapan menghargai perayaan agama tetangga. Pembicaraan kami akhirnya mengerucut bahwa di jalan pardamean belum ditemukan adanya konflik antar agama. Mereka sangat menghormati agama lain, kata Pak Ustad dalam gotong royong seperti membersihkan parit juga selalu bergotong royong tanpa ada perbedaan perlakuan seperti dari rumah si A kerumah si B yang membersikan agama Kristen atau Batak, dan dari rumah si B ke rumah si C adalah khusus orang Islam. Hal ini tidak terjadi pada masyarakat itu. Di akhir pembicaraan kami pun dimintai nomor telepon oleh Pak Ustad manakala ada keperluan data boleh di SMS atau di telepon.

2. Percakapan dengan Warga dan Kepling

Pertemuan kami yang kedua melakukan wawancara dengan Kepling Di Jalan Pardamean. A. Sijabat adalah nama pak Kepling di Jalan Pardamean. Pertemuan itu berlangsung setelah kami berencana menjumpai tokoh agama Kristen yang kebetulan hari Minggu pula. Namun kami tidak berhasil karena dia sangat sibuk melayani Ibadah. Kami sempat mengambil beberapa foto di depan gedung gerja.

Setelah itu percakapan pun kami lanjutkan terhadap orang-orang yang melaksanakan kebaktian di gereja itu prihal toleransi umat beragama dan pemahaman multikulturalisme dalam masyarakat setempat. Mereka mengetahui kalau lebih banyak mahasiswa yang menjadi warga daripada penduduk asli dilihat dari rumah kos-kosan warga terhadap mahasiswa, juga dapat dilihat di gereja HKBP jumlah orang yang melaksanakan kebaktian hampir seimbang bahkan lebih banyak mahasiswa. Mereka hidup secara berdampingan meskipun mereka sadar akan keberagaman etnis maupun agama dan usia satu pendidikan.

Kami juga melakukan percakapan dengan tukang roti yang beragama Islam yang sedang menjajakan rotinya di depan gereka HKBP tersebut. Dia mengakui walaupun beragam, tetapi bukan menjadi penghambat terhadap mereka untuk melaksanakan interaksi dan kontak. Percakapan dengan mereka semua hanya sepintas lalu saja dilakukan. Setelah itu kami pun beranjak ke rumah pak Kepling.

Kami bertanya pada seorang ibu yang sedang berjualan sayur, yang kebetulan ibu itu berjualan di depan rumah pak Kepling tersebut. Dengan ramah ibu tersebut menjawab pertanyaan kami sembari memberi tahukan rumah pak Kepling. Kemudian tanpa membuang waktu, kami pun langsung menuju rumah pak Kepling. Terlihat pak Kepling duduk dengan santai di teras rumahnya. Dengan senyuman yang sederhana pak Kepling pun menyambut kami dengan sangat ramah. Rumah yang ditempati pak Kepling tersebut tidak begitu luas dan tidak besar, namun kelihatan rapi dan barang-barang yang disusun dengan baik. Terdapat kursi-kursi dan meja yang terbuat dari plastic berada diantara kami. Namun kami memilih untuk duduk di lantai saja agar terasa lebih nyaman.

Bapak itu pun bertanya maksud kedatangan kami ke rumah beliau. Salah satu tim kami pun memberi sedikit penjelasan. Karena kami tidak membawa surat jalan atau pengantar dan kemudian bapak itu pun memberi respon prihal kebiasaan mahasiswa yang membutuhkan data dari kepling yang jarang membawa surat tugas. “Banyak juga yang saya tolak, karena mahasiswa tidak membawa surat dengan alasan tidak diberi oleh dosen,” ungkapnya.

Ternyata bapak itu mempunyai sikap yang sangat ramah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kami lontarkan kepadanya. Selain itu bapak itu pun lebih banyak mengacu pembicaraan untuk sharing-sharing dan tidak usah terlalu formal, ujarnya. Pak kepling pun mulai menceritakan kebiasaan yang biasa dilakukannya pada hari Minggu. Pada jam 10.00 wib biasanya pak kepling sudah tidak di rumah, karena ia selalu menghabiskan waktu di luar rumah alias pergi jalan-jalan. Bertepatan dengan datangnya kami, sama seperti jam biasa beliau tidak ada di rumah. “Beruntung kalian karena saya masih ada di rumah, biasanya jam-jam segini saya sudah berkelana”, ujarnya. Kami pun tertawa”hahaha”.

Lalu kami pun menjelaskan tujuan kedatangan kami. Kami pun bertanya, “pak, bagaimana kondisi masyarakat di jl. Perdamean sebagai warga yang beragam etnis dan agama? Apakah pernah terjadi konflik atau tidak?”. Bapak itu pun menjawab “selama saya menjadi kepling (sejak 1987-sekarang) belum pernah ada indikasi/gejala konflik agama meskipun tempat ibadah Agama Islam dan Kristen berdekatan. Warga Jl Perdamean semuanya mempunyai toleransi yang tinggi antar sesama umat beragama.” Berbagai hal boleh dikatakan sebagai hubungan yang harmonis, seperti :

Ø Jika ada acara di gereja pada saat orang Islam juga beribadah, maka sebagaimana biasanya mesjid menggunakan pengeras suara/toa maka suaranya akan diperkecil dan tidak mengarah ke gereja. Hal ini sering dilakukan jika terjadi persamaan waktu pelaksanaan masing-masing agama.

Ø Sebelum buka puasa tiba, orang beragama Islam akan menahan nafsu makannya karena sedang menunaikan ibadah puasa. Orang beragama kristen turut serta untuk menjaga kenyamanan situasi dengan cara tidak sembarangan makan pada saat agama Islam sedang berpuasa.

Ø Gotong-royong yang diadakan oleh kepling sangat direspon dengan antusias oleh warga. Mereka tidak begitu mempermasalahkan tentang agama. Baik itu agama Islam maupun agama Kristen & mereka juga tidak membedakan suku-suku yang ada. Semua ikut serta dalam gotong-royong tersebut. Kelemahan dari gotong-royong ini adalah jika hari Minggu dilaksanakan, maka bagi yang beragama Kristen tidak dapat ikut serta karena sedang beribadah. Tetapi kelemahan tersebut tidak menjadi sebuah kendala bagi Pak Kepling untuk mensiasati warganya untuk turut serta dalam gotong-royong tersebut. Pak kepling pun membagi 3 (tiga) waktu untuk gotong-royong. Jadi, warga yang beragama kristen dapat juga membagi tenaganya. Misalnya, gotong royong 1 (pertama) dilaksanakan pukul 08.00 wib. Tetapi warga kristen yang tidak dapat ikut serta dapat mengikuti kegiatan gotong-royong pada jam ke 2 (dua) atau malah jam ke 3 (tiga)

Ø Spanduk ucapan selamat pada hari-hari tertentu juga sering mereka buat secara silang. Maksudnya disini, jika acara-acara besar sedang dilaksananka maka tanpa memandang dari agama mana, mereka turut serta dalam spanduk ucapan tersebut

Setelah begitu banyak pembicaraan kami dengan pak kepling tadi, dia pun sadar bahwa dia belum menyodorkan kami minuman sebagaimana yang biasa beliau lakukan jika ada orang yang bertamu. “Maaf lah ya dek, ibu telah pulang kampung sehingga minuman tidak dapat dihidangkan,” ujarnya. Kami semua bertanya-tanya pada diri masing-masing sambil melihat teman sebelah karena bingung apa maksud perkataan pak kepling tersebut. Kemuadian dia pun menjelaskan maksud perkataannya tadi. “Ibu sudah berpulang untuk selamanya, karena sakit yang dideritanya. Ia berpulang sekitar satu tahun yang lalu,” kata bapak itu.

Istri bapak itu ternyata penderita kanker payudara. Ia pun menceritakan sedikit derita yang pernah dialaminya sebelum ibu meniggal. Sedikit menumpahkan kesedihannya pada kami. Kami pun mendengar dengan wajah haru. “Pada saat ibu berada di rumah sakit, mereka (warga, baik agama Kristen maupun Islam) datang menjenguk ibu dengan toleransi yang sangat tinggi. Saat ibu meninggal pun mereka turut serta dalam kesedihan yang bapak derita, sambil menyemangati bapak. Rasa persaudaraan sangat ditonjolkan oleh warga tersebut”, ujar bapak itu.

C. KESIMPULAN

Multikulturalisme terbentuk dari kata multi yang artinya banyak, kultur yang artinya budaya, dan isme yang artinya faham/aliran. Secara hakiki dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan keunikan budaya masing-masing. Dengan demikian, setiap individu merasa dihargai sekaligus merasa bertanggungjawab untuk hidup bersama komunitasnya. Pengingkaran suatu masyarakat terhadap kebutuhan untuk diakui merupakan akar dari segala ketimpangan dalam berbagai bidang kehidupan. Misalnya pertentangan antar suatu etnis tertentu dengan etnis lainnya. Pembakaran gedung gereja dan banyak hal lainnya.

Sebagai sebuah ideology, multikulturalisme terserap dalam berbagai interaksi yang ada dalam berbagai struktur aktivitas kehidupan manusia yang tercakup dalam kehidupan sosial, ekonomi, bisnis, politik, dan lainnya yang bersangkutan. Adanya keragaman budaya merupakan kenyataan sosial yang sudah niscaya bagi bangsa Indonesia. Meski demikian, hal ini tidak secara otomatis diiringi dengan penerimaan yang positif pula, bahkan banyak fakta yang justru memberi sumbangan terbesar bagi munculnya ketegangan dan konflik.

Dengan keadaan itu akan kontraproduktif terhadap penciptaan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang damai, harmonis, dan toleransi. Untuk itu diperlukan upaya untuk menumbuhkembangkan kesadaran multikulturalisme agar potensi positif terkandung dalam keragaman/plural tersebut dapat diimplementasikan secara benar dan berkelanjutan.

Memang harus diakui bahwa multikulturalisme di Indonesia belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat tersebut. Masih banyak yang belum mampu menerima dan memberi pengekuan akan budaya orang lain, apalagi mempelajari serta memberi nilai-nilai positif bagi orang lain masih sulit dijalankan.

Hal itu sangat rentan akan terjadinya ketegangan antaretnis/agama. Keberagaman yang tercipta di Jalam Perdamean tersebut 2 (dua) agama dianut oleh warganya, membangun rumah ibadah yang berdekatan tetapi tetap terjalin kondisi aman dan kondasif tanpa ada percekcokan/ketegangan tentang persoalan agama.

Toleransi umat beragma tercermin dalam proses ritus keagamaan yang saling menghargai saling menghormati dan mendukung.rasa iba akan perbedaan tersebut tidak hanya dari segi agama tetapi juga etnis.masing-masing saling memenjalankan ibadahnya degan bebas dan transparan. Kondisi multikulturalisme bagaikan pedang bermta dua.dari satu sisi ia merupakan modalitas yang besar dan menghasilkan energy positif,tetapi di sisi lain manaakala perbedaan tersebut tidak bias di kelola dengan baik,majadi ledakan destruktif yang bias menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan atau disintegrasi bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar