Powered By Blogger

Rabu, 02 November 2011

MULTIKULTURAL

Manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat berdiri tunggal yang dipastikan harus membutuhkan orang lain dalam segala hal. Maka dari itu manusia harus beradaptasi, kemudian bersosialisasi dengan manusia lain atau kelompok masyarakat lainnnya. Dengan dilakukannya interaksi sosial maka akan dihasilkan hal-hal yang saling mempengaruhi dalam hal pikiran maupun tindakan. Dalam mewujudkan hal tersebut maka dibutuhkan suatu media yakni bahasa. Bahasa merupakan penggunaan kode yang merupakan gabungan fonem sehingga membentuk kata dengan aturan sintaks untuk membentuk kalimat yang memiliki arti (wikiepedia).

Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan ke empat setelah sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan dan sistem pengetahuan yang diurutkan oleh Koentjaraningrat berdasarkan tingkat kesukaran untuk berubah atau terkena pengaruh oleh kebudayaan lainnya. Sehingga setiap etnis di indonesia ini memiliki bahasanya masing-masing, tetapi yang menjadi dilema dalam hal ini terkadang bahasa itu bisa membawa sebuah masalah jika penggunaannya dilakukan dengan tidak tepat atau seseorang yang diajak untuk berbicara tidak mengerti bahasa tersebut. Kemudian masalah lain yang jika orang yang mendengar bahasa tersebut dan dalam mengartikannya berbeda dengan tujuan sipihak lain.

Masalah yang menjadi dilema lainnya adalah, ketika bahasa-bahasa setiap etnis ingin dijadikan suatu bahasa yang eksis. Ketika bahasa tersebut tidak ingin punah maka masyarakat tersebut ingin menggunakannya dikehidupan sehari-harinya, hal yang dihadapi jika orang-orang yang disekitar masyarakat tersebut tidak mengetahui kemudian timbul semacam dugaan-dugaan menuduh kalau masyarakat tersebut sedang menceritai orang yang berada disekitar tersebut yang tidak mengerti arti bahasa tersebut.

Dengan pertimbangan akan masalah seperti itulah indonesia menjadikan bahasa indonesia sebagai bahasa penyatu untuk semua etnis yang tersebar di seluruh wilayah indonesia tidak terkecuali kota medan sendiri. Medan merupakan salah satu kota yang banyak di diami oleh masyarakat-masyarakat yang berbeda etnis dimulai dari masyarakat lokal sendiri seperti melayu, batak yang juga banyak bagian-bagiannya seperti batak toba, batak simalungun, batak angkola, mandailing, karo, kemudia pak-pak, nias, sampai etnis yang berada di seberang pulau sumatera juga banyak terdapat di kota medan ini yakni masyarakat jawa yang biasa disebut PUJAKUSUMA. Selain dari masyarakat etnis di indonesia ini, medan juga dihuni oleh masyarakat etnis yang berada di seberang negeri indonesia yakni etnis tionghoa juga etnis india yang terdiri dari suku tamil, sikh (Punjab), dan banyak lainnya.

Dari berbagai etnis yang mendiami kota medan tersebut begitu banyak juga bahasa yang dimiliki, ketika setiap etnis ingin menjadikan bahasa etnisnya menjadi bahasa yang super, maka hal tersebut mendatangkan banyak masalah. Misalnya masyarakat tionghoa yang berada di medan biasanya di jumpai di daerah-daerah elit, dan pertokoan elit, masyarakat ini sangat dikenal dengan masyarakat yang super dan angkuh, mereka menggunakan bahasa etnis mereka di depan masyarakat lokal, yang tidak mengetahui bahasa tersebut maka dari itu masyarakat lokal acapkali menghakimi bahwasannya etnis tionghoa tersebut sombong dengan berbagai kutukan yang menyatakan bahwa mereka sedang menumpang di tanah air masyarakat indonesia tetapi tidak mau menggunakan bahasa indonesia.

Padahal jika dilihat kebelakang, masyarakat etnis tionghoa ini memeiliki traumatik yang luar biasa yang diciptakan oleh masyarakat lokal itu senidiri, dimana banyak diskriminasi-diskriminasi yang dilakukana oleh masyarakat lokal kepada etnis tionghoa, maka efek yang timbul mereka sampai saat ini tetap menjaga jarak dengan masyarakat lokal dengan tujuan untuk memprotek diri mereka sendiri.

Hal diatas merupakan sisi lain dari masyarakat indonesia khusunya medan, banyak konsep multikulturalisme yang tertanam di medan, banyak masyarakat yang tidak menghiraukan setiap etnis menggunakan bahasa etnisnya di depan orang lain, bahkan etnis yang berbeda bisa menggunakan bahasa etnis lain. Misalnya saja masyarakat jawa, sudah mahir berbahasa batak,, begitu juga sebaliknya. Bagaimana dengan bahasa hokien yang biasa digunakan oleh etnis tionghoa? Memang tidak sebanyakmasyarakat lokal yang asli indonesia memahami bahasa anatar etnis indonesia seperti kasus etnis jawa memahami bahasa batak, namun tidak sedikit juga masyarakat lokal mengetahui bahasa hokien yang digunakan oleh masyarakat etnis tionghoa.

Selain masyarakat tionghoa, masyarakat batak juga dominan di daerah medan, biasanya sering dijumpai di daerah-daerah pasar tradisional. Masyarakat etnis batak khususnya batak toba ini sering menggunakan bahasa lokal mereka sendiri di depan masyarakat lain yang juga tidak mengetahui bahasa tersebut misalnya saja masyarakat tionghoa, jawa, dan melayu. Tetapi dampak yang diberikan masyarakat tersebut terhadap masyarakat batak toba tidak sehebat dan sekejam kepada masyarakat tionghoa, hal ini bisa mungkin didasari bahwa masyarakat batak toba merupakan salah satu anak bangsa indonesia.

Konsep multikulturalisme tertanamkan pada masyarakat medan, misalnya saja di angkot, di dalam angkot tersebut terdiri dari banyak orang yang berbeda etnis, ada etnis batak yang sedang berbicara bahasa batak dengan rekannya, ada juga etnis tionghoa yang berbicara dengan bahasa hokien dengan rekannya, dan ada juga etnis lain berbicara dengan bahasanya. Penumpang-penumpang lainnya tidak merasa terganggu dengan hal tersebut meskipun mereka tidak paham apa yang dibicarakannya. Mereka asik dengan diri mereka sendiri, bukan tidak memliki toleransi tetapi inilah konsep toleransi tersebut, memberikan kebebasan kepada setiap orang menggunakan bahasa etnisnya sendiri.

Kejadian seperti diatas bukan hanya bisa kita jumpai di angkot namun di bebarapa tempat umum lainnya seperti pasar, mall, kampus dll bisa kita temukan. Hal ini di dasari olej tidak adanya rasa mendominasi dari setiap etnis, sehingga perasaan super tidak tertanamkan. Hal ini bida dibandingkan dengan kota-kota lain di indonesia, hanya di kota medan yang terdiri dari berbagai macam etnis, kemudian mereka bebad menggunakan bahasa etnis mereka sendiri dimana saja dan kapan saja.

Sebagai perbandingan, di kota semarang yang merupakan kota yang di dominasi oleh masyarakat jawa pada awalnya, tetapi saat ini banyak juga masyarakat dari etnis tionghoa, namun tidak dijumpai masyarakat tionghoa bebas aktif menggunakan bahasa etnis mereka sendiri, yang kita temukan adalah masyarakat tionghoa yang “medhok” menggunakan bahasa jawa dengan dialek khasnya.

Banyak juga kota-kota lain yang etnis asli mendominasi sehingga assimilasi terjadi, sepert pekan baru, padang, jambi, bengkulu dll. Di kota-kota tersebut etnis lain yang merupkan etnis minoritas menyesuaikan dengan kebudayaan etnis asli yang mayoritas sehingga mereka kehilangan identitas aslinya, contohnya di jambi dan bengkulu yang menggunakan bahasa melayu, setiap etnis pendatang seperti batak maupun jawa yang merupakan etnis minoritas harus menyesuaikan diri dengan menggunakan bahasa masyarakat asli agar diterima oleh masyarakat sekitar, jika hal itu tidak dilakukan maka kemungkian tidak diterimanya menjadi bagian masyarakat asli akan terjadi.

Bukan hanya bahasa saja yang menadi sorotan penyelewengan konsep multikulturalisme ada juga beberapa kasus misalnya saja penggunaan jilbab oleh kaum wanita di aceh, daerah aceh yang didominasi oleh agama islam dan telah diberikan otonomi daerah khusus untuk meredam konflik berkepanjangan, para aparat pemerintahannya mengeluarkan undang-undang “qanun” wajib menggunakan penutup kepala bagi perempuan tanpa melihat latar belakang agamanya.

Begitu juga hal yang terjadi di kota pekan baru dan sekitarnya yang di dominasi oleh masyarakat beragama islam, penggunaan “baju koko” bagi pelajar setiap hari jumat tidak terkecuali dan tidak melihat apa agamanya. Hal tersebutlah yang menjadi fenomena saat ini. Namun ada dilematis yang terjadi jika melihat fenomena-fenomena yang berkembang seperti itu, mengingat kata pepatah “lain lubuk lain ikannya” ada juga pepatah yang mengatakan “dimana bumi dipijak, disitu langit di unjung” dua pepatah tersebut menyarankan agar terjadi assimilasi dan bersosialisasi agar diterima oleh masyarakat asli namun konsep multikulturalisme sedikit mengabur.

Di era ini dimana saat demokrasi dijunjung setinggi-tingginya, sehingga masyarakat menganggap demokrasi adalah suatu media yang digunakan untuk kebebasan, bahkan kebebasan-kebebasan tersebut tidak jarang keluar dari rambu-rambu demokrasi sepenuhnya (demokrasi kebablasan). Demokrasi juga yang menjdadi alibi ingin menjadikan bahasa suatu etnis menjadi bahasa super tanpa menghiraukan masyarat lainnya yang tidak mengetahui bahasa tersebut.

Tetapi jika kasusnya seperti itu, maka dituntut untuk saling menghormati perbedaan tersebut. Yang menjadi pertanyaan apakah masyarakat yang menggunakan bahasa etnis mereka di depan masyarakat lain itu sudah melakukan toleransi? Hal inilah yang dapat menimbulkan konflik. Banyak yang mengatakan bahwa perbedaan itu indah tetapi bukan perbedaan yang membuat indah melainkan persamaan tujuan yang membuat perbedaan itu menyatu, warna yang berbeda-beda tidak akan indah jika diletakkan dalam wadah yang terpisah tetapi jika diletakkan di satu kertas, maka warna-warna itu menjadi lukisan dengan tujuan memberikan keindahan bagi yang melihatnya begitu juga dengan manusia hendaklah memiliki persamaan tujuan untuk saling menghormati atas semua perbedaan yang ada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar